Segera Berlakukan Windfall Profit Tax!

Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *). Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.

Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.

***

Latar Belakang

Setelah sempat mencapai puncaknya pada angka US$ 147/barel tangal 11 Juli 2008 yang lalu, belakangan ini (Agustus 2009) harga minyak dunia cenderung turun ke level harga US$ 70-an per barel. Analis Goldman Sachs, Arjun N. Murti, pernah memperkirakan harga minyak bisa mencapai US$ 200 per barel dalam waktu dekat (New York Times, 21 Mei 2008). Sedangkan Dirut Gazprom Rusia, Alexei Miller, pernah pula mengatakan bahwa harga minyak dapat saja mencapai US$ 250 per barel (Wall Street Journal, 3 Juli 2008). Dalam kondisi ekonomi dunia yang baru keluar dari krisis keuangan global seperti saat ini (Agustus 2009), bisa saja ramalan analis dan direktur tersebut masih jauh untuk terwujud.

Namun berdasarkan sejarah perkembangan selama puluhan tahun, harga minyak dunia selalu berfluktuasi tetapi tidak pernah mengalami trend penurunan permanen. Yang jelas, mengingat banyaknya faktor yang mempengaruhi harga minyak, seperti meningkatnya kebutuhan, stagnannya supply, terkendalanya pasokan pangan, turunnya nilai tukar US$, maraknya prilaku spekulasi, terjadinya bencana alam dan maraknya isu-isu geopolitik, maka ramalan harga US$ 200 per barel sangat mungkin terjadi dalam beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, sudah selayaknya kita menyiapkan berbagai langkah antisipatif, agar kenaikan harga tersebut tidak terlalu mengganggu kemampuan APBN, perekonomian nasional dan beban hidup masyarakat secara umum. Setidaknya kita mempersiapkan diri jika harga minyak kembali melewati US$ 100/barel.

Salah satu langkah yang ditawarkan adalah pemberlakuan pajak atas keuntungan tak terduga (windfall profit tax, WPT) terhadap para kontraktor migas yang telah dan akan beroperasi di Indonesia. WPT adalah pemungutan pajak tambahan atas peningkatan nilai dan limpahan keuntungan secara luar biasa akibat lonjakan harga. Limpahan keuntungan tersebut terhitung sangat besar jika dibandingkan dengan nilai saat kontrak ditandatangani. Melalui WPT, keuntungan itu sebagian dikembalikan kepada negara. WPT diterapkan agar negara sebagai pemilik sejati produk migas mendapatkan penerimaan tambahan secara objektif dan proporsional, bukan karena kebutuhan penambalan APBN atau dalam rangka berbagi derita/beban (sharing the pain). Penerapan WPT adalah adil karena keuntungan perusahaan migas meningkat sangat tajam dalam kondisi pengeluaran biaya yang tetap, tanpa adanya jerih payah ekstra.

Disadari bahwa pemerintah tidak mungkin menarik WPT berdasarkan peraturan pajak yang berlaku saat ini. Untuk itu pemerintah dan DPR perlu segera menyiapkan undang-undang, perppu atau perauturan presiden (perpres). Peraturan baru ini kelak akan menjadi dasar terhadap perubahan kontrak-kontrak migas yang ada maupun yang baru untuk mengakomodasi WPT. Disamping itu, pemerintah juga perlu segera melakukan kajian komprehensif untuk menentukan berbagai batasan, variable dan formula yang menjadi dasar perhitungan WPT. Sebagai contoh, besarnya WPT terhadap keuntungan dapat berkisar pada angka 50%, untuk range harga minyak US$ 60 – US$ 80/barel, 60% untuk range US$ 81 – US$ 100/barel dan 70% untuk harga di atas US$ 100/barel.

WPT & Sikap Pemerintah

Terlepas dari isu WPT di atas, langkah yang telah diambil pemerintah untuk mengatasi lonjakan harga minyak dan seluruh dampak yang menyertainya adalah dengan menaikkan harga BBM. Hal ini disisi lain justru menambah beban kesulitan hidup masyarakat kecil. Alasan utama pemerintah adalah tekanan kenaikan harga minyak dunia sangat memberatkan kemampuan negara dalam mengalokasikan anggaran subsidi BBM. Pemerintah menyatakan pada sekitar bulan Mei 2008 bahwa beban subsidi yang harus ditanggung dalam APBN 2008 mencapai Rp 126,82 triliun. Itulah sebabnya, pada awal Juni 2008 pemerintah menaikkan harga BBM dengan rata-rata kenaikan sekitar 30%.

Kita melihat, sebenarnya ada langkah-langkah strategis lain yang lebih tepat dan berkeadlian dibanding sekedar menaikkan harga BBM dalam mengatasi dampak kenaikan harga minyak dunia. Hal ini juga sempat diungkapkan oleh beberapa pejabat yang mengatakan bahwa langkah-langkah dimaksud adalah pemebenahan cost recovery, perubahan split dalam kontrak KKS, mengefektifkan konversi minyak tanah ke LPG, mempercepat diversifikasi energi, dan/atau memberlakukan WPT. Bagaimana kelanjutan pelaksanaan dari berbagai langkah solutif yang ditawarkan, akan kita ulas lebih lanjut di bawah ini.

Melambungnya harga minyak dan kuatnya tuntutan pemberlakuan WPT, menyebabkan Presiden SBY bereaksi dengan mengundang para kontraktor migas (11 Juni 2008) untuk menyampaikan gagasan. Gagasan tanpa konsep yang rinci itu adalah permintaan kepada para kontraktor untuk berbagi beban dampak kenaikan harga minyak dengan pemerintah. Gagasan ini bisa diartikan sebagai sinyal tentang niat Presiden memberlakukan WPT. Agar gagasan Presiden tersebut dapat diimplementasikan, maka peraturan yang bersifat operasional perlu disiapkan, dimana hal ini telah ditindaklanjuti oleh lembaga-lembaga yang terkait dengan melakukan berbagai analisa dan kajian.

Hasil kajian atas gagasan ”sharing the pain” tercermin pada beragam pendapat sejumlah pejabat pemerintah, antara lain, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Kepala BP Migas R. Priyono, Dijen Migas Luluk Sumiarso, Dirjen Pajak Darmin Nasution dan Waka BP Migas Abdul Muin. Pada prinsipnya kita mencatat 2 hal penting yang dihasilkan, yaitu:

a) Sejumlah pejabat menolak pemberlakuan WPT ;
b) Sejumlah pejabat/lembaga lainnya menawarkan 3 opsi alternatif berupa:
• Pembenahan cost recovery” (CR);
• Perubahan KKS berupa perbaikan split, pola bagi hasil;
• Pemberlakuan windfall profit tax, WPT.

Terlepas dari adanya dua alternatif selain WPT, tertangkap kesan bahwa mayoritas pejabat tersebut kurang setuju dengan pemberlakuan WPT. Alasannya antara lain adalah:

1) pemerintah terikat kontrak, KKS (Darmin Nasution, DN, Abdul Muin, AM);

2) Indonesia akan digugat di arbitrase internasional jika merubah kontrak (DN, AM);

3) pemerintah tidak ingin mengganggu iklim invesatsi (Menteri Purnomo Y, PY);

4) pemerintah sudah untung besar karena kenaikan harga minyak sehingga WPT tidak perlu (PY);

5) investor akan lari dan urung berinvestasi. Daya saing Indonesia di sisi investasi akan melemah (PY, AM);

6) dampak penerimaan penerapan WPT sangat kecil dibanding pembenahan cost recovery (DN);

7) WPT akan mengurangi bagian bagi hasil yang diterima pemerintah sehingga PNBP justru menurun (DN) dan,

8) pemerintah masih perlu waktu untuk mengkaji rencana penerapan WPT (Sri Mulyani).

Kita sangat khawatir bahwa alasan-alasan diatas bersumber dari para kontraktor yang memang sangat kuat mengamankan kepentingan. Pada sisi lain, terkesan ada oknum pejabat yang kurang proaktif, lemah semangat, atau bahkan bersedia berkolaborasi dengan asing. Padahal, yang seharusnya diperjuangkan adalah penegakan konstitusi dan undang-undang, serta menempatkan posisinya (konstitusi dan undang-undang tsb.) di atas kontrak, sehingga tidak menjadi objek gugatan arbitrase internasional. Kontrak-kontrak tersebut memuat sejumlah ketentuan yang merugikan serta sudah tidak sejalan dengan berbagai perkembangan dan undang-undang yang ditetapkan kemudian, seperti undang-undang lingkungan hidup, kehutanan atau otonomi daerah. Di sisi lain, karena konstitusi dan undang-undang merupakan perwujudan kehendak rakyat dan berperan untuk mengatur kontrak, maka kita tidak perlu takut dengan ancaman arbitrase. Jika kontrak ini dibiarkan hidup tanpa perubahan, berarti kita membiarkan para kontraktor leluasa menikmati kekayaan negara terkuras habis. Lantas apa gunanya kita mengaku negara yang berdaulat dan mempunyai pemerintahan yang sah?

Sangat sulit dipahami ada oknum pejabat yang percaya bahwa investor di sektor migas akan lari jika WPT diterapkan. Padahal cadangan migas itu ada di wilayah kita dan para kontraktor itulah yang sebenarnya lebih membutuhkan untuk berinvestasi bukan sebaliknya. Selain itu kita juga prihatin dengan sikap Presiden yang harus ”memohon kesediaan” para kontraktor melakukan sesuatu, berupa gagasan berbagi beban, dalam upaya menerapkan WPT. Bahkan permohonan itu diiringi dengan berbagai kompensasi seperti kemudahan proses perizinan dalam lelang pengadaan barang untuk keperluan eksplorasi dan produksi dan pemangkasan hambatan birokrasi. Padahal Presiden memiliki wewenang untuk memerintah (atau menetapkan bersama DPR) agar sesuatu itu dilaksanakan. Menilik cara penyampaian gagasan dan sikap oknum di atas, terasa bahwa upaya penerapan WPT akan berhenti hanya sebagai wacana dan segera menguap.

Kita juga sangat prihatin dengan sikap mantan Dijan Pajak, Darmin Nasution, yang mengatakan bahwa WPT akan mengurangi bagian bagi hasil yang diterima pemerintah sehingga PNBP justru menurun. Pendapat ini tidak tepat dan perlu diklarifikasi. Sebab yang diusulkan untuk terkena pajak tambahan (WPT) adalah keuntungan tambahan yang diperoleh oleh para kontraktor jika terjadi kenaikan harga minyak melebihi batas harga tertentu, misalnya US$ 90/barel. Kita perlu mengingatkan bahwa akibat kenaikan harga minyak selama periode tahun 2007 hingga semester 1 tahun 2008, keuntungan perusahaan-perusahaan minyak yang besar mengalami kenaikan rata-rata di atas 50%. Keuntungan Total misalnya meningkat 64%, Exxon 60% dan Shell 54%. Padahal untuk peningkatan keuntungan tersebut, mereka tidak mengeluarkan biaya atau investasi ekstra. Dengan demikian, sangat wajar jika negara sebagai pemilik sumberdaya tersebut juga ikut dan berhak sepenuhnya untuk menikmati keuntungan yang besar itu melalui penerapan WPT. Belum lagi jika mempertimbangkan bahwa akibat kenaikan BBM, semakin banyak rakyat Indonesia yang hidup lebih sulit. Akibat kenaikan harga minyak, pemerintah perlu bertindak agar keuntungan sangat besar dinikmati para kontarktor di satu sisi, bisa ditransfer kepada masyarakat miskin di sisi lain. Dengan pemberlakuan WPT diharapkan penderitaan masyarakat miskin akan berkurang, yakni mewujudkan langkah sharing the pain melalui WPT.

Sikap DPR & Pakar

Dukungan untuk penerapan WPT pernah disuarakan oleh sejumlah anggota DPR. Ketua Komisi VII DPR, Airlangga Hartarto, misalnya menyatakan bahwa Komisi VII telah meminta pemerintah menerapkan pajak progresif atau WPT kepada kontraktor migas sebagai kompensasi kenaikan harga minyak.Untuk dapat menerapkan WPT maka pemerintah dapat menerbitkan peraturan presiden (perpres) yang mengatur kebijakan baru tersebut.

Hal yang senada juga disampaikan oleh Alvin Lie (Anggota Komisi VII DPR) yang menyatakan pemerintah seharusnya menerapkan pajak tambahan yang bersifat progresif, yang artinya semakin tinggi keuntungan kontraktor, makin besar pula besar pajak yang dikenakan. Pajak progresif cukup adil karena biaya eksploitasinya tetap, sedangkan pendapatan kontraktor naik. Pemerintah juga harus memberikan jaminan keringanan pajak kepada kontraktor jika dikemudian hari harga minyak turun.

Suharso Monoarfa (Anggota Komisi XI DPR RI) juga mempunyai pendapat yang sama dengan Presiden SBY. Beliau menyatakan WPT dapat diberlakukan, sebagai bentuk sharing the pain dengan KKKS, karena lonjakan harga minyak dunia. Demikian juga dengan Dradjad Wibowo (Anggota Komisi XI DPR) yang menyatakan pemberlakuan pajak tambahan di sektor yang booming cukup beralasan. Tambahan dana tersebut sangat diperlukan untuk memperkuat struktur APBN.

Selain dari lembaga legislatif, dukungan penerapan WPT juga datang dari kalangan praktisi migas seperti yang disampaikan oleh Effendi Siradjudin (Ketua Asosiasi Perusahaan Migas Nasional/ASPERMIGAS). Effendi menyatakan jika WPT diterapkan, maka meskipun harga minyak dunia naik, harga BBM tidak perlu dinaikkan. Dengan asumsi rata-rata harga minyak US$110/ barel dan harga dasar US$60 /barel, maka nilai widfall profit yang akan diterima kontraktor akan mencapai sekitar US$ 53,4 miliar. Jika tarif WPT 50%, maka nilai WPT yang akan diterima negara mencapai sekitar US$ 26,7 miliar atau Rp 26 triliun.

Efendi juga menyampaikan bahwa pemerintah AS telah menikmati bagian WPT saat harga minyak belum mencapai angka psikologis US$ 100/barel. Ketika harga menembus angka US$ 124/barel, pemerintah dan kongres AS langsung meminta tambahan WPT dari perusahaan-perusahaan minyak mereka.

Dukungan atas penerapan WPT juga datang dari kalangan LSM, seperti yang disampaikan oleh Pri Agung Rakhmanto (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute). Pri Agung menyatakan penerapan WPT akibat kenaikan harga minyak dunia yang dipungut dari kontraktor migas yang beroperasi di Indonesia merupakan langkah tepat yang harus diterapkan pemerintah saat ini. Pajak ini sebagai “sharing the pain” atau berbagi beban dari dampak kenaikan harga minyak dunia. Pengenaan WPT ini bisa dilakukan melalui UU pajak penghasilan. Pri Agung yakin, menerapkan WPT melalui undang-undang akan lebih efektif.

Pri Agung mengingatkan bahwa penggunaan istilah sharing the pain atau berbagi beban yang digunakan oleh Pemerintah adalah keliru. Karena sebagai negara yang berdaulat dan memiliki sumber daya alam yang kaya, Indonesia seharusnya tidak perlu meminta-minta pada kontraktor untuk pemberlakuan WPT, tapi langsung saja menerapkannya. Menurut Pri Agung, pemerintah harus mengkaji secara matang rencana pemberlakuan WPT mengingat segala macam bentuk pajak adalah disinsentif bagi KKKS. Meski demikian, dari sisi penyelamatan APBN, WPT memang diperlukan. (bersambung)

foto ilustrasi: wordpress

*) Tentang Penulis:

Marwan Batubara, lahir di Delitua, Sumatera Utara, 6 Juli 1955. Marwan adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2004-2009, mewakili provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Tehnik Elektro Universitas Indonesia dan S2 bidang Computing di Monash University (Australia). Marwan adalah mantan karyawan Indosat 1977-2003 dengan jabatan terakhir sebagai General Manager di Indosat. Melalui wadah Komite Penyelamatan Kekayaan Negara (KPK-N), ke depan Marwan berharap bisa berperan untuk mengadvokasi kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam, agar dapat bermanfaat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.