Proyek Patung-patung di Indonesia : Penghamburan Dana demi Menabung Dosa

patungOleh Hartono Ahmad Jaiz

Patung-patung dalam riwayatnya sudah jadi alat untuk mengubah agama Tauhid menjadi kemusyrikan. Amru bin Luhayyi telah mengubah Agama Nabi Ibrahim dan Isma’il alaihimas salam dari Tauhid kepada penyembahan patung-patung yang dipasang di sekitar Ka’bah. Semula patung yang dia bawa ke Makkah itu adalah sisa-sisa patung orang musyrikin zaman Nabi Nuh alaihis salam yang para penyembahnya telah musnah diadzab Allah Subhanahu wa Ta’ala karena kemusyrikannya.

Ketika patung-patung itu masih tersisa, walau para penyembahnya sudah musnah diadzab Allah dengan banjir besar ribuan tahun lalu, namun kemudian sisa-sisa berhala-berhala itu dibawa orang yaitu Amru bin Luhayyi ke Makkah, lalu ditumbuhkan lagi penyembahan terhadap berhala-berhala. Sehingga di sekitar Ka’bah terdapat 360 berhala. Ini benar-benar pelajaran yang nyata tentang betapa bahayanya sisa-sisa kemusyrikan itu. Pusat agama Tauhid, bisa diubah menjadi pusat kemusyrikan. Sedangkan yang berusaha membawa patung itu tadi semula hanya satu orang.

Bayangkan kalau di Indonesia ini, patung-patung justru jadi proyek, dibuat dengan dana dari hasil (pajak dan sebagainya dari) penduduk yang mayoritasnya Muslim. Sedang patung-patung itu bukan hanya di satu tempat, namun di berbagai tempat, bahkan mungkin tiap daerah dan tiap periode kepemimpinan ada saja yang mengadakan proyek pembuatan patung.

Hendaknya umat Islam sangat berhati-hati, lebih-lebih para penguasa yang di masa buku ini ditulis (2007M/ 1428H), menurut pendapat umum, para penguasa memakai aji mumpung yaitu mumpung berkuasa. Maka biasanya mereka membuat proyek-proyek, yang menurut rahasia umum, dari proyek-proyek itu sebagian dananya bisa masuk kantong. Jadi makin banyak proyek yang mereka ciptakan maka kemungkinan kantong mereka makin tebal. Sebaliknya, kondisi negeri ini diketahui umum bahwa hutangnya sangat besar.

Di antara proyek-proyek itu ada juga yang berupa pembuatan patung-patung dipasang di mana-mana. Bahkan ada tokoh Islam di Karanganyar Solo Jawa Tengah yang mengeluh kepada saya, bahwa bupatinya (kepala daerah tingkat dua di bawah propinsi), seorang perempuan, membuat proyek berupa membawa arca-arca dari Bali (tempat orang-orang Hindu Bali) ke daerahnya, maka dikhawatirkan adanya orang yang menyembah berhala gara-gara pejabat di daerahnya memasang patung-patung yang didatangkan dari Bali entah untuk apa yang disebut pariwisata atau apa itu. Ini walaupun pembuat proyek pemasangan patung yang didatangkan dari Bali itu masih mengaku dirinya Muslimah, namun telah mengakibatkan adanya penyembahan berhala.

Patung-patung yang dipasang di mana-mana, di saat patung itu belum disembah, sering membuat risih. Contoh, ketika zaman Presiden Soeharto dengan Menteri Agama Munawir Syadzali, Ketua Umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) KH Hasan Basri dengan Ketua Komisi Fatwa MUI Ibrahim Hosen, para ulama dari dunia Islam berdatangan ke Indonesia untuk membahas Kalender Hijriyah Internasional (sebagaimana setiap sekian tahun diadakan musyawarah di negeri lain dengan berpindah-pindah). Para ulama dari berbagai negeri Islam itu nampak keheranan. Kenapa Indonesia dikenal negeri yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi pemandangan yang dilihat para ulama dari berbagai negeri itu begitu mereka menginjakkan kaki di Bandara Cengkareng Jakarta (internasional) sampai di hotel yang ditempati untuk membahas Kalender Hijriyah ternyata banyak patung-patung alias berhala. Apakah tidak ada ulamanya, Indonesia ini?

Mungkin para ulama dari berbagai negeri itu akan lebih heran lagi, seandainya (saat itu) ada yang membawa para ulama itu ke calon kuburan pemimpin Indonesia (Soeharto) di perbukitan Mangadeg Matesih, timur Solo Jawa Tengah. Di sepanjang jalan yang naik ke perbukitan itu, kiri dan kanan dipasangi patung-patung wadyabala kera dalam legende Ramayana (bukan dari Islam). Ada Hanoman, Subali, Sugriwa dan sebagainya, yang rata-rata berwajah kera menganga. Jadi kalau kita berjalan kaki menuju ke perbukitan itu seakan disambut oleh patung-patung kera itu yang berdiri di sepanjang pagar kanan kiri jalan.

Dengan adanya contoh seperti itu, maka para penguasa dari pusat sampai daerah-daerah ada saja yang membuat proyek pembuatan patung. Demikian pula pengusaha dan lainnya.

Seorang da’I yang pernah menjadi salah satu ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pernah mengeluh, dia berkhutbah di suatu hotel di Jakarta. Di sisi mimbar itu ada sesuatu yang dibungkus kain di hadapan para jama’ah Jum’at itu. Ternyata yang dibungkus kain itu adalah berhala.