Proyek Patung-patung di Indonesia : Penghamburan Dana demi Menabung Dosa

Jadi bukan hanya pembuat patung-patung itu yang diancam adzab paling dahsyat di Hari Qiyamat, namun termasuk pula yang memerintahkannya beserta orang-orang yang terlibat dalam urusan itu.

Demikianlah,pembuatan patung itu sendiri sangat diancam oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pelakunya (termasuk pimpro –pemimpin proyek—dan anak buahnya) dengan ancaman siksa paling keras di Hari Qiyamat. Kalau patung-patung itu disembah, maka akan lebih-lebih lagi siksanya di Akherat kelak.

Patung Inul Diprotes

Terbukti, bukan hanya penguasa dan pengusaha yang suka membuat proyek pembangunan patung. Dan bukan hanya orang yang sudah mati yang dipatungkan. Tetapi orang masih hidup pun dipatungkan, dan pemesannya serta yang mau memajangnya di jalan depan rumahnya adalah dia yang masih hidup tapi minta dipatungkan itu sendiri. Itulah Inul dan patungnya.

Pada hari yang sama antara diresmikannya Patung Slamet Riyadi di Solo dan patung Inul di Jakarta, seorang penjoget ngebor (pamer pantat, maaf) dengan sebutan Ratu Goyang Ngebor Inul Daratista mau meresmikan patung “Inul” yang berpose nyanyi joget dengan pakaian ketat sebatas dada (jadi dada tampak) dan menonjolkan maaf pantatnya.Patung itu mau diresmikan Inul di jalan depan rumahnya, . di Pondok Indah Jakarta, 12 November 2007, tetapi diancam orang untuk dirusak massa. Maka patung yang sudah terpasang itu tinggal tembok penyangganya, dan dipasangi kertas dari sebuah Organisasi Massa yang bertulisan: “Gua bukan pahlawan, gua nggak pantes dipajang di sini, pantesnya gua dipajang di kamar mandi.”

Rupanya Inul rela mengeluarkan duit untuk membuat patung dirinya (atau dimiripkan dirinya sebagai penyanyi joget) dan untuk dipajang di depan rumahnya. Harga patung itu Rp12 juta (seharga 60-an gram emas murni), melebihi patung-patung yang sudah ada di jalan itu, yang rata-rata menurut ketua RT-nya tiap satu patung seharga Rp4 juta.

Anehnya, Inul mau mengadakan konferensi pers atas gagalnya peresmian patungnya itu. Kemudian acara itupun gagal, walau wartawan sudah berdatangan, maka Inul kirim sms (pesan singkat lewat telepon genggam) kepada wartawan: “Saya hanya bersabar, mungkin ini cobaan sebelum saya berangkat ibadah haji,” tulis Inul seraya mengaku dirinya masih berada di kawasan Kelapa Gading Jakarta Utara. (lihat Warta Kota, Selasa, 13 November 2007, halaman 1 dan 20).

Begitulah adanya. Ancaman orang yang akan merusak patung erotis dan tak pantas itu, malah dianggap oleh Inul sebagai ujian, dan dikaitkan dengan akan berangkatnya ke Tanah Suci untuk ibadah haji. Lha nanti kalau jadi syari’at baru, bahwa orang yang akan berangkat ibadah haji maka perlu memajang patung di jalan depan rumahnya, bagaimana? Sedangkan sekarang saja sudah ada adat yang entah darimana, dan sejak kapan, wallahu a’lam, setiap orang mau ibadah haji, terutama orang Betawi Jakarta, mengharuskan diri mereka mengadakan upacara Ratiban, pakai baca-bacaan, mengumpulkan orang. Bahkan ketika jama’ah haji itu masih berada di Tanah Suci Makkah ataupun Madinah, di rumah mereka pun tiap malam Jum’at diadakan Ratiban pula. Nanti ketika mereka meninggal, baik meninggalnya di Tanah Suci maupun meninggal di kampungnya atau di mana saja, maka diadakan upacara tahlilan dengan baca-bacaan dan mengumpulkan orang. Bid’ah-bid’ah itu nanti kalau ditambah dengan bid’ah yang lebih dahsyat lagi yaitu pemasangan patung, maka apa jadinya.

Di saat nanti patung-patung itu disembah orang, walau pembuat dan pemodal serta pengada proyeknya sudah di dalam kubur, namun dosanya akan tetap mengalir. Padahal itu adalah dosa kemusyrikan, yang tidak akan diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala bila pelakunya tidak bertaubat ketika masih hidup. Lha yang mewariskan patung-patung itu sudah di dalam kubur, sedang warisannya itu kemudian disembah orang, bagaimana mereka yang sudah mati itu akan bertaubat? Tinggallah dosa terbesar yang akan senantiasa mengalir. Na’udzubillahi min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari yang demikian. Betapa berbahayanya, menabung dosa model ini. Berhati-hatilah wahai para manusia. (Lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi palsu dan Para Penyesat Umat, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2008).