Mental Impact

A. MENTAL IMPACTS

Ketika saya bekerja di salah satu perusahaan properti sekitar pertengahan tahun 1995 sebagai Vice President, yang pertama kali saya hadapi adalah keluhan teman-teman karyawan yang kesulitan menghadapi perilaku pemilik perusahaan yang gampang marah. Semua kelemahan dan kesalahan karyawan baik kecil maupun besar dihadapi dan diselesaikan dengan kemarahan. Akhirnya, para karyawan ciut menghadapi gaya kepemimpinan seperti itu. Satu-satunya yang mungkin mereka lakukan adalah berupaya untuk diam atau menghindar dari pemilik perusahaan tersebut yang juga menjabat President Director.

Apa yang terjadi? Sudah dapat dipastikan kinerja perusahaan sangat buruk. Lahirlah manusia-manusia carmuk (cari muka) atau kucing-kucingan dengan Big Boss mereka. Bagi mereka, yang penting selalu dalam posisi aman (comfort zone). Setiap pengarahan dan morning briefing selalu disambut dengan kata “amin” alias ya pak, ya pak, ya pak, tanpa perlu memberikan usulan atau pendapat kendati isi briefing tersebut sebuah doktrin dari keinginan-keinginan sang Boss yang sulit mereka pahami dan kerjakan. Dengan hati yang sedih dan perasaan yang gemas saya melihat kondisi perusahaan ketika itu ibarat sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang raja diktator. Untuk mengadakan posisi tawar antara pemilik perusahaan dengan para karyawan saja sangat sulit, apalagi mewujudkan suasana kesetaraan dan iklim partnership. Sebab itu, Mental Impacts dalam Metode SEI Emppwerment melahirkan dua sifat mulia, yakni mampu mengendalikan diri dan memiliki tanggung jawab sosial.

1. Mampu Mengendalikan Diri

Marah yang bukan pada tempatnya adalah cerminan ketidakmampuan sesorang mengendalikan dirinya. Jika seseorang, khususnya pemimpin, tidak mampu melawan sifat amarahnya, maka pertahanan dirinya akan jebol. Artinya, orang yang mengumbar amarah mudah dikendalikan Setan (Qarin)-nya. Berbagai keinginan buruk dan angan-angan kosong mudah ditiupkan ke dalam dirinya . Akibatnya dia akan mudah terjebak kekeliruan dan kejahatan lainnya seperti mengambil harta orang lain dengan jalan yang tidak halal, menjatuhkan martabat orang lain, lidah dan tangannya suka menyakiti orang lain, pendendam (sulit mema’afkan kesalahan orang lain) dan sebagainya. Oleh sebab itu, ketika seorang sahabat meminta nsehat kepada Nabi Muahammad Saw, Beliau berkata : “Jangan Anda suka marah-marah” seraya mengulanginya berkali-kali, “Jangan Anda suka marah-marah”. (Hadist Riwayat Imam Al-Bukhari). Mental Impact yang pertama adalah kemampuan yang kuat dalam mengendalikan diri.

2. tanggung Jawab Sosial

Ciri indah lain dari Mental Impacts ialah ketika kaum Muhajirin dari Mekkah sampai di Madinah. Rata-rata mereka hijrah dengan tangan kosong karena masyarakat Quraisy menyita semua harta kaum Muslimin yang hijrah ke Madinah. Di hari-hari terjadinya gelombang hijrah banyak kejadian dan peristiwa yang di luar nalar biasa yang terjadi dalam diri kaum Anshar yang menjadi penduduk asli Madinah. Mereka berlomba-lomba menawarkan kebaikan kepada saudara mereka dari puak Muhajirin. Sampai-sampai Rasulullah harus melakukan undian agar tidak ada yang tersinggung karena tidak kebagian jatah menyalurkan bantuannya kepada kaum Muhajirin.

Sifat tanggung jawab sosial (social responsibility) di kalangan Anshar sangat terasa kental. Berbagai bantuan ditawarkan kepada Muhajirin, bahkan ada yang menawarkan salah satu dari dua kebun kurmanya untuk dimiliki saudara Muhajirinnya seperti yang dialami Abdurrahman Bin Auf dari saudara Ansharnya yang bernama Abdurrahman Al-Anshari. Namun demikian, sebagai seorang pengusaha kawakan, Abdurrahman Bin Auf tidak dengan serta-merta memanfaatkan niat tulus dan sifat mulia saudara Ansharnya itu. Ia dengan cerdas menjawab tawaran mulia itu sambil berkata : Terima kasih saudaraku. Tunjukkan aku di mana pasar!

Gambaran indah tentang sifat tangung jawab sosial kaum Anshar tersebut dilukiskan Allah dalam Al-Qura’an sebagaimana tercantum dalam Surah Al-Hasyr ayat 9 berikut :

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (9

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka (tidak ada udang di balik batu) terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang sukses.”
(Q.S. Al-Hasyr (59): 9)

Demikianlah kepekaan dan solideritas sosial orang yang menjalani proses SEI Empowerment dengan benar. Mereka bukan hanya mampu mengendalikan diri dari sifat amarah, berkata kotor, kasar dan sebagainya, namun dalam dirinya tumbuh sifat tanggung jawab sosial yang tinggi sehingga sifat “kikir” sirna dari dalam dirinya sehingga ia pantas meraih kesuksesan hakiki. Ketika dia bekerja, berbisnis apalagi berpolitik, dalam pikirannya tertanam selalu keinginan untuk memberi, melayani dan membantu orang lain melalui ibadah maliyah baik yang wajib seperti zakat maupun yang nafilah (tambahan) seperti infaq dan sebagainya. Dia menyadari, bahwa sukses bukan hanya ketika ia mampu mengendalikan diri untuk tidak mendapatkan harta dan kedudukan dengan cara haram, melainkan juga harus dibarengi dengan keinginan untuk memberi pada orang lain yang membutuhkannya.

Demikian juga ketika dipilih jadi pemimpin, apakah pemimpin rumah tangga ataupun pemimpin organisasi, partai dan negara, maka semangat memberi dan melayani yang mendominasi kehidupannya, bukanya nafsu minta dilayani bagaikan Big Boss atau tuan Raja. Pemimpin sejati ialah seperti yang diungkapkan pepatah Arab: “Pemimpin yang sesungguhnya ialah yang melayani rakyatnya.”

MENTAL IMPACTS dapat dilihat dari dua sifat mulia seperti tergambar pada diagram berikut :

Dalam pribadi Nabi Yusuf tertanam kuat dua sifat mulia tersebut. Kemampuan mengendalikan diri sangat luar biasa. Coba bayangkan bagaimana sikap Beliau ketika saudara-saudaranya yang tega melemparkannya ke dalam sumur datang membawa barang dagangan yang sedikit tapi ingin mendapatkan bayaran yang lebih besar. Alangkah terkejutnya mereka setelah mereka tahu bahwa Raja yang mereka ajak bicara itu adalah Yusuf yang dulu mereka buang ke sumur. Dengan perasaan malu mereka mengakui kesuksesan Yusuf dan kekalahan serta kesalahan fatal yang mereka lakukan terhadap Nabi Yusuf. Namun apa yang terjadi? Apakah Yusuf dendam kepada mereka dan lalu memenjarakan mereka? Dengan tenang dan rendah hati Nabi Yusuf menjawab :

قَالُوا تَاللَّهِ لَقَدْ آثَرَكَ اللَّهُ عَلَيْنَا وَإِنْ كُنَّا لَخَاطِئِينَ (91) قَالَ لا تَثْرِيبَ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ يَغْفِرُ اللَّهُ لَكُمْ وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (92)

“Mereka berkata: "Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)". (91) Dia (Yusuf) berkata: Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu semua, mudah-mudahan Allah mengampuni kamu semua, dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang." (Q.S. Yusuf (12) : 2)

Demikian pula halnya ketika Raja yang memenjarakan Yusuf tanpa kesalahan apapun itu mengundang Yusuf untuk mentakwilkan mimpinya melihat tujuh tangkai padi yang berisi, dimakan tujuh tangkai padi yang hampa dan tujuh ekor lembu kurus memakan tujuh ekor lembu yang gemuk. Dengan senang hati Nabi Yusuf datang, tanpa ada dendam sedikitpun. Nabi Yusuf tahu betul kelemahan sang Raja, para menteri dan penasihat kerajaan. Nabi Yusuf, melalui ilmu dari Alllah, tahu betul bahwa kerajaan Mesir yang dipimpin seorang raja yang zhalim ini akan bangkrut jika tidak segera dirumuskan strategi ekonomi alternatif dalam menghadapi era paceklik yang akan menimpa Mesir selama tujuh tahun berturut-turut. Nabi Yusuf bisa saja bersikap apatis seraya berkata: Biar saja pemerintahan zhalim itu hancur. Toh kalau hancur saya juga akan bebas dari penjara ini. Namun, apa yang dilakukan Yusuf?

Sangat mengagumkan, ternyata beliau mampu mengendalikan diri dengan tidak marah, apalagi menyimpan rasa dendam pada Penguasa yang menzhaliminya. Rasa tanggung jawab sosial yang tinggi juga telah pula mendorongnya bersikap sangat profesional dan serius. Dia memaparkan kepada sang Raja zhalim itu, bahwa negerinya akan dilanda krisis ekonomi berkepanjangan yang pasti akan merambah kepada krisis politik. Lalu, apa strategi menghadapinya agar negeri Mesir terbebas dari krisis itu? Lebih fantastik lagi, konsep dan strategi yang dirancang Yusuf bukan hanya mampu menghindarkan Mesir dari terpaan krisis ekonomi, melaikan Mesir mampu meraup devisa dalam masa krisis tujuh tahun itu karena terjadi peningkatan ekspor hasil pertanian luar biasa. Pada tahun yang ke-15, Mesir menjadi negeri termakmur di dunia ketika itu. Semua itu dilakukan Yusuf karena tanggung jawab sosial yang dimilikinya.

Seorang Raja, apalagi korup, zhalim dan amoral, di mata Yusuf tidaklah terlalu jadi beban fikiran. Toh, tanpa dilawanpun dia akan hancur dengan sendiri akibat kezhaliman yang dia lakukan. Namun rakyat yang bertahun-tahun dan bahkan berabad yang selalu membayar mahal biaya dari kezhaliman, kerakusan dan kebodohan penguasa, sehingga sekaya apapun potensi yang dimiliki, negerinya pasti bangkrut. Kondisi riil tersebutlah yang mendorong Yusuf siap tempur dan adu konsep dengan Raja yang sedang mabuk tahta, harta dan wanita itu. Terbukti, Yusuf sukses besar dan jauh lebih unggul dari sang Raja dan para menterinya seperti yang diabadikan dalam Al-Qur’an.

Adapun ciri-ciri “Mampu Mengendalikan Diri” dan “Tanggung Jawab Sosial” dapat dilihat pada table A berikut :