Kencing Berdiri, Menghadap Kiblat dan Cebok Pakai Tissue, Bolehkah?

Assalamualaikum.waraahmatullahhi wabarakatuh

Pak Ustadz yang dirahmati Allah, bagaimana dengan ketentuan atau aturan bagi kaum laki-laki dalam melakukan kencing, dengan berdiri atau dengan cara duduk (sepeti kaum wanita pada umumnya)? Adakah keharusan untuk melakukan dengan cara duduk?

Saya pernah membaca hadist tentang keharusan dilakukannya dengan duduk. Apakah tidak terlalu menyulitkan, lebih lagi kebanyakan toilet pria mengharuskan kencing sambil berdiri? Apakah boleh menghadap ke arah manapun (asal ada pembatas sekedar tidak kelihatan aurat)? Apakah dalam hal membersihkan boleh memakai tissue?

Demikian pertanyaan saya atas jawaban dari pak Ustadz saya haturkan terima kasih. Matur nuwun.

Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh.

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Kencing berdiri memang seringkali diperdebatkan oleh banyak ulama. Sebagian mengharamkannya, atau minimal memakruhkannya. Namun sebagian lainnya membolehkannya. Mengapa mereka berbeda pendapat? Tidak adakah riwayat yang shahih dari nabi SAW tentang masalah kencing berdiri?

Jawabnya ada. Bahkan diriwayatkan oleh dua pakar ahli hadits, yaitu Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim dengan sanad yang shahih. Isi haditsnya justru menyebutkan bahwa Rasulullah SAW pernah kencing sambil berdiri. Teks haditsnya sebagai berikut:

عن حذيفة قال: أتى رسول الله صلى الله عليه وسلم سباطة (مكان مرتفع يستتر به) قوم ‏فبال قائما ثم دعا بماء فمسح على ‏خفيه ، فذهبت أتباعد فدعاني حتى كنت عند عقبه البخاري ومسلم. وهو حديث صحيح

Dari Huzaifah ra. bahwa beliau berkata,"Rasulullah SAW mendatangi sabathah (sebuah tempat yang tinggi untuk bertabir di belakangnya) pada suatu kaum dan beliau kencing sambil berdiri. Kemudian beliau meminta diambilkan air dan mengusap kedua khuff-nya (sepatu). Maka aku pergi menjauh namun beliau memanggilku hingga aku berada di belakang beliau. (HR Bukhari dan Muslim)

Menurut para ulama yang mendukung pendapat yang membolehkan kencing sambil berdiri, hadits ini diriwayatkan oleh dua ahli hadits yang kitabnya merupakan kitab tershahih kedua dan ketiga di dunia, setelah Al-Quran Al-Kariem tentunya.

Dan isinya secara nyata dan tegas sekali menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW telah melakukan kencing sambil berdiri. Sehingga tidak ada alasan bagi siapapun untuk menolak kebolehan kencing sambil berdiri.

Apalagi diriwayatkan banyak shahabat nabi yang kencing sambil berdiri. Di antaranya apa yang dilakukan oleh Umar bin Al-Khatab ra., seorang yang pendapatnya seringkali mendahului turunnya Al-Quran.

عن زيد قال ‏رأيت عمر بال قائما

Dari Zaid ra. berkata, "Aku telah melihat Umar bin Al-Khattab kencing sambi berdiri." (Hadits dengan sanad yang shahih)

Kalau pun ada hadits lain yang menyebutkan bahwa nabi tidak pernah kencing sambil berdiri, maka harus digabungkan.

Pendapat yang Mengharamkan

Sebagian ulama lainnya secara tegas mengharamkan kencing sambil berdiri. Dan sebagiannya lagi memakruhkan. Dalil yang mereka pakai adalah hadits shahih berikut ini lewat jalur isteri beliau, Aisyah ra:

عن عائشة أنها قالت:(من حدثكم أن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ بال قائما فلا تصدقوه ما ‏كان يبول إلا جالسا). رواه الخمسة إلا أبا داود ، وإسناده صحيح

Dari Aisyah ra. berkata, "Siapa saja yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW kencing berdiri, maka jangan dibenarkan. Beliau tidak pernah kencing sambil berdiri. (HR Khamsah kecuali Abu Daud dengan sanad yang shahih)

عنعائشة ما بال قائماً منذ أنزل عليه القرآن

Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah SAW tidak pernah kencing sambil berdiri semenjak diturunkan kepadanya Al-Quran.

من الخطأ أن يبول الرجل قائما

Adalah sebuah kesalahan ketika seseorang kencing sambil berdiri

Kelompok ini mengatakan bahwa keberadaan hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menyebutkan bahwa nabi SAW pernah kencing sambil berdiri sudah dihapuskan hukumnya (mansukh). Yaitu dihapus dengan adanya hadits-hadits ini.

Bantahan Pihak yang Membolehkan

Namun keberadaan hadits-hadits yang melarang kencing sambil berdiri ini dibantah oleh para ulama yang membolehknnya. Di antara mereka adalah penulis syarah Shahih Bukhari, yaitu Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar. Beliau menyebutkan menuliskan dalam syarahnya bahwa tidak ada hadits yang tsabit tentang larangan nabi untuk kencing berdiri.

AL-Hafidz juga mengatakan bahwa hadits yang menerangkan bahwa Nabi SAW kencing berdiri tidak mansukh. Dan penasakhannya tidak benar.

Sebab masih ada kemungkinan untuk menjama’ (menggabung) antara kedua dalil yang sepintas kelihatan berbeda. Bentuk jama’-nya adalah bahwa mungkin saja Aisyah ra. memang tidak pernah melihat nabi SAW kencing sambil berdiri di rumahnya. Namun sudah barang tentu Aisyah ra. tidak pernah tahu apa yang pernah dilakukan suaminya itu di luar rumah.

Sementara ada hadits lain yang shahih telah melaporkan bahwa Rasulullah SAW kencing sambil berdiri di luar rumah. Dan juga perbuatan Umar bin Al-Khattab ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. Maka tidak mungkin menghukum mansukh kepada suatu hadits selama masih bisa dijama’.

Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah juga sepakat tidak adanya larangan untuk kencing sambil berdiri. Beliau mengatakan bahwa hadits, "Janganlah kencing sambil berdiri" adalah hadits yang dhaif (lemah). Maka tidak ada larangan untuk kencing sambil berdiri, selama seseorang merasa aman dari terkena percikan najis air kencing pada pakaiannya.

Al-Imam Al-Manawi dalam kitab Faidhul Qadir syarah Al-Jami’usshaghir menyebutkan bahwa larangan nabi untuk kencing berdiri bukan bermakna haram, melainkan tanzih. Dan perbuatan beliau kencing sambil berdiri untuk menjelaskan bahwa hal itu boleh dilakukan dan tidak haram.

Menghadap Kiblat dan Membelakanginya

Adapun masalah menghadap kiblat atau membelakanginya, memang ada larangan pada saat buang air.

عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا جلس أحدكم لحاجته فلا يستقبل القبلة ولا يستدبره رواه أحمد ومسلم

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bila kamu mendatangi tempat buang air, janganlah menghadap kiblat atau membelakanginya." (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Abu Ayyub disebutkan, "Tetapi menghadaplah ke timur atau ke barat."

Posisi kiblat di Madinah adalah menghadap ke Selatan, sedangkan membelakangi kiblat berarti menghadap ke Utara. Sedangkan menghadap ke barat dan timur artinya tidak menghadap kiblat dan juga tidak membelakanginya.

Tempat buang air di masa lalu bukan berbentuk kamar mandi yang tertutup melainkan tempat terbuka yang sepi tidak dilalui orang-orang. Sedangkan bila tempatnya tertutup seperti kamar mandi di zaman kita sekarang ini, tidak dilarang bila sampai menghadap kiblat atau membelakanginya. Dasarnya adalah hadits berikut ini.

Dari Jabir ra. berkata bahwa Nabi SAW melarang kita menghadap kiblat saat kencing. Namun aku melihatnya setahun sebelum kematiannya menghadap kiblat. (H.Tirmizy)."

Kemunginan saat itu beliau SAW buang air di ruang yang tertutup yang khusus dibuat untuk buang air.

Istinja’ Pakai Tissue

Selain dengan menggunakan media air, istinja’ (cebok) dibenarkan menggunakan media lain, seperti batu dan juga tissue atau apapun benda lain yang memenuhi kriteria para ulama. Dalilnya adalah hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Siapa yang beristijmar (bersuci dengan batu) maka hendaklah berwitir (menggunakan batu sebanyak bilangan ganjil). Siapa yang melaksanakannya maka dia telah berbuat ihsan dan siapa yang tidak melakukannya tidak ada masalah`. (HR. Abu Daud, Ibju Majah, Ahmad, Baihaqi dan Ibnu Hibban).

Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, `Bila seorang kamu datang ke WC maka bawalah tiga buah batu, karena itu sudah cukup untuk menggantikannya.` (HR Abu Daud, Baihaqi dan Syafi`i)

Sedangkan selain batu, yang bisa digunakan adalah semua benda yang memang memenuhi ketentuan dan tidak keluar dari batas yang disebutkan:

  1. Benda itu bisa untuk membersihkan bekas najis.
  2. Benda itu tidak kasar seperti batu bata dan juga tidak licin seperti batu akik, karena tujuannya agar bisa menghilangkan najis.
  3. Benda itu bukan sesuatu yang bernilai atau terhormat seperti emas, perak atau permata. Juga termasuk tidak boleh menggunakan sutera atau bahan pakaian tertentu, karena tindakan itu merupakan pemborosan.
  4. Benda itu bukan sesuatu yang bisa mengotori seperti arang, abu, debu atau pasir.
  5. Benda itu tidak melukai manusia seperti potongan kaca beling, kawat, logam yang tajam, paku.
  6. Jumhur ulama mensyaratkan harus benda yang padat bukan benda cair. Namun ulama Al-Hanafiyah membolehkan dengan benda cair lainnya selain air seperti air mawar atau cuka.
  7. Benda itu harus suci, sehingga beristijmar dengan menggunakan tahi/ kotoran binatang tidak diperkenankan. Tidak boleh juga menggunakan tulang, makanan atau roti, kerena merupakan penghinaan.

Bila mengacu kepada ketentuan para ulama, maka kertas tissue termasuk yang bisa digunakan untuk istijmar.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc.