Kartini dan Muslimah Sejati

letters-from-kartini

Ibu kita kartini
Putri sejati, putri Indonesia, harum namanya
Ibu kita kartini pembela bangsa
Pembela kaumnya untuk merdeka

Masih ingat lagu kesayangan kita di waktu kecil? Lagu yang membangkitkan semangat nasionalisme dan rasa kebanggaan terhadap kontribusi dari kaum perempuan.

Perjuangan seorang Kartini bagaikan mata air di padang pasir, saat kaum perempuan dianggap lemah dan tak berdaya, beliau justru mematahkan semua paradigma terhadap perempuan, membuat dogma baru bahwa perempuan punya hak yang sama dengan kaum laki-laki dalam segala hal, yang membedakannya hanya dalam tataran konsep dasar dan hakikat bahwa perempuan berbeda dengan laki-laki. Sehingga kumpulan tulisannya pun dibukukan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Bahagiakah Kartini? Entahlah. Tidak ada yang tahu. Apakah ia puas dengan semua pengorbanannya untuk bangsa ini, karena sekarang kaum perempuan justeru lebih tidak dihargai bahkan oleh perempuan itu sendiri dan berkembang pemikiran yang menyetarakan laki-laki dan perempuan.

Kebanyakan kaum perempuan menilai sama antara feminisme dengan apa yang diperjuangkan oleh seorang Kartini. Begitu banyak perbedaan pendapat tentang hal ini, yang jelas konsep seorang perempuan lembut namun cerdas yang dibawa oleh puteri bupati Jepara ini sekarang sudah mulai tereduksi atas nama Hak Asasi Manusia (HAM). Lagi-lagi HAM.

Benarkah seorang Kartini berjuang untuk kebebasan yang seluas-luasnya bagi kaum perempuan? Saya yakin tidak.

Karena bagi Kartini tidak ada pendiskriminasian terhadap perempuan, bukan berarti perempuan meninggalkan peran dan fungsi sebagi seorang perempuan itu sesuai kodratnya, sebagai seorang istri, dan sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya.

Yang jelas sebelum Kartini lahir sudah ada seorang manusia sempurna yang jauh lebih berperan dalam perjuangan untuk mengangkat derajat kaum perempuan, ia bukan seorang perempuan, namun perjuangannya membuktikan betapa Islam menghargai dan memuliakan seorang perempuan. Konsep ini terlihat dari hadis.

Penyebutan ibu tiga kali dan ayah satu kali bukannya tanpa arti, namun tersirat makna bahwa yang lebih diutamakan untuk dihargai adalah ibu, bukan berarti pula tidak menghormati ayah.

Hanya saja, seorang perempuan harus melalui masa-masa berat untuk mendapat sebutan ibu, mulai dari mengandung, melahirkan hingga menyusui dan membesarkan anak. Tak heran jika dalam Al-Qur’an surat Luqman ayat 14 dikatakan:

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”

Perempuan dan laki-laki memang insan yang berbeda, namun dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa perbedaan itu hanya dalam masalah peran dan fungsi saja, bahwa seorang perempuan mempunyai fungsi sebagai : mar’atushsholihah, zaujatu muthi’ah, dan ummul madrasah berbeda dengan laki-laki.

Namun dalam masalah pendidikan, pekerjaan dan masalah teknis lainnya perempuan dan laki-laki sama asalkan perempuan tidak meninggalkan peran dan fungsinya tadi. Antara perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama untuk mendapatkan derajat tertinggi di mata Allah yaitu taqwa.

Jika Kartini menginginkan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, maka Islam jauh mempunyai impian yang lebih mulia terhadap perempuan, kembalikanlah segala sesuatu kepada Al-Qur’an dan hadis.

Bahwa apapun paham-paham yang berkembang sekarang namun tetaplah menjadi jati diri seorang muslimah, seperti Siti Khadijah yang walaupun seorang saudagar, namun mampu menjalankan perannya sebagi istri dan menjadikannya seorang wanita salehah .. karena setiap muslimah adalah mutiara.
Wallahu’alam bishshowab…

Penulis:
Ryan Muthiara Wasti
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
[email protected]