Energi Kotor dan Keringnya Kantong Jokowi

Presiden Indonesia berpotensi melanggar UU jika terus melanjutkan proyek fosil. Sementara ada kewajiban untuk mewujudkan 23 persen energi terbaharukan dalam komposisi pemggunaan energi Indonesia. Lagipula kalau terus menyandarkan diri pada fosil dan batubara, maka kenyataan yang dihadapi saat ini, di mana penerimaan negara dari dua sektor andalan ini amblas.

Kantong Makin Kerontang

Sri Mulyani berhasil menghitung pengeluaran tapi gagal menghitung pendapatan negara. Menteri lintas presiden ini berhasil menghitung pembiayaan namun gagal menghitung pendapatan negara. Semua karena elite oligarki negara ini yang menguasai pemerintahan negara tidak mau bergeser dari pijakannya selama beberapa dekade yakni dari minyak, gas dan batubara.

Mereka membutakan Presiden Jokowi akan arah perkembangan dunia, sehingga pemerintahan tetap bersandar pada oligarki fosil. Dan oligarki inilah yang menjadi buffer politik yang membiayai seluruh institusi politik negara.

Padahal kalau terus ngotot bersandar pada energi fosil, maka keuangan negara makin amblas. Mengapa? Kerana keuangan migas dan batubara akan amblas lebih dahulu. Tidak ada investasi maupun pembiayaan dalam sektor migas. Sektor batubara benar benar akan ditinggalkan investor mulai dari pengerukan batubara sampai dengan pembangkit batubara.

Jadi kesimpulan tidak akan ada uang yang mengalir dalam investasi ke sektor ini dalam tahun tahun mendatang. Bahkan investor dalam sektor industri yang memiliki komitmen rendah pada transisi energi tidak akan memperoleh apa-apa lagi dan akan kesulitan menjual produk produk mereka.

Demikian juga APBN, tidak ada yang tertarik dalam membiayai APBN Indonesia dikarenakan komitmen pembiayaan dalam APBN sangat bergantung pada roadmap pemerintah dalam urusan bauran energi.

Pemerintan makin sulit dalam memperoleh utang langsung dari bilateral maupun lembaga multilateral dikarenakan seluruh negara dan lembaga keuangan internasional telah diikat dalam komitmen tertinggi dalam menekan emisi dan pencemaran.

Lebih berat lagi global bond yang belakangan ini merupakan sumber utama dalam pembiayaan mereka tidak akan masuk dikarenakan akan berhadapan dengan pajak tinggi, walaupun Indonesia memberlalukan imbal hasil super tinggi.

Lebih celaka lagi adalah urusan industri dan persaingan perdagangan. Dunia telah memiliki alasan untuk membatasi impor dengan alasan komitmen transisi energi atau energi terbaharukan.

Hasil industri dari Indonesia akan ditolak dimana mana, atau akan dikenakan pajak karbon hingga 250 dolar per ton keluaran karbon. Semua perusahaan di Indonesia mulai perusahaan minyak, dari pembangkit listrik, perusahaan industri tak akan sanggup bersaing.

Lalu darimana Jokowi bisa dapat uang lagi dalam tahun tahun mendatang, dari pajak dan PNBP migas dan batubara sudah tipis, dari industri sudah banyak gulung tikar sebelum, di saat dan pasca Covid-19, dari perdanan internasional akan terhambat oleh komitmen Paris COP 21.

Dari pasar keuangan global bond juga tidak laris, green bond Indonesia dicuekin ketena tidak ada underliying asetnya. Dari utang langsung kepada lembaga multilateral, mereka semua sudah berkomitmen tak lagi membiayai energi fosil.

Padahal jika Presiden Jokowi dan kabinetnya terutama Menteri Keuangan mau belajar, serangan Covid-19 baru-baru ini adalah serangan kepada energi fosil. Bayangkan harga minyak yang telah menurun dan rendah dalam lima tahun terakhir, terpukul hingga di bawah harga ekonomisnya.

Posisi ini tampaknya akan berlangsung lama, di tengah gunung hutang yang ada di punggung perusahaan minyak dan batubara.

Jadi Covid-19 ini merupakan pukulan terkuat untuk mengahiri oligarki fosil yang menjadi buffer politik di seluruh dunia dan yang sedang berkuasa di Indonesia. Kecuali mau berubah. (*)

Penulis: Salamuddin Daeng