Syahganda Nainggolan: Merajalelanya Korupsi dan Moralitas Kekuasaan

Sebaliknya, banyak elit kekuasaan sekarang hanya butuh beberapa tahun untuk menumpuk kekayaan dari hasil korupsi.

Selain masalah moral, korupsi juga sering dihubungkan dengan kelemahan sistem pemerintahan (struktural). Namun, kita yakin persoalan moral tetap menjadi kunci utama.

*Nasib Revolusi Mental*

Jokowi sudah jelas dalam tesisnya pada “Revolusi Mental”, bahwa korupsi akan melumpuhkan bangsa kita. Sementara kita melihat bahwa belum ada tanda2 Jokowi akan bersikap tegas pada korupsi. Apa itu sikap tegas? Jika membandingkan dengan rezim Xi Jin Ping di RRC, di sana banyak pejabat di tembak mati karena kasus korupsi.

Namun, jika kita mengharapkan Jokowi mampu menjadi “role model” atau simbol moral anti korupsi, sebuah agenda non sistem/struktural, Jokowi harus mampu menghadirkan agenda moral itu. Hal itu pertama harus keluar dari dirinya. Dalam kaitan korupsi, yakni tidak mengambil keuntungan pribadi dari agenda publik, kebijakan publik, nepotisme, suap dll. Jokowi harus menjadi inspirasi bagi kekuasaannya, setidaknya dilingkungan keluarga, istana dan kabinet, seperti Bung Hatta Sang Proklamator. Di luar sebagai inspirator, yang personal, Jokowi harus membangun moral kelompok pada elit kekuasaan untuk elit itu tidak tergiur dengan urusan2 bersifat material.

Namun, baik sebagai simbol moral maupun agenda struktural, pemberantasan korupsi tidak terlihat dalam periode kedua Jokowi. Burhanuddin Muhtadi, misalnya, dalam “Dilema Jokowi, Publik atau Kartel Politik?” , Media Indonesia, 18/12/19, melihat bahwa Jokowi tidak lagi masuk pada isu HAM dan pemberantasan korupsi pada era kedua berkuasa. Katanya, Jokowi hanya masuk pada isu-isu ringan, seperti pungutan liar (pungli) saja.

Selain itu, rakyat sendiri, sebagiannya, tidak dapat menerima gejala nepotisme yang ditunjukkan keluarga Jokowi dengan maju di pilkada saat ini.

Dengan demikian, apakah nasib revolusi mental Jokowi sudah menjadi masa lalu?

*Reshuffle Kabinet*

Korupsi merajalela, yang terungkap dari kasus Jiwasraya dan Asabri, serta kasus kompleks Wahyu Setiawan dan Harun Masiku, menunjukkan kelemahan Jokowi dan rezimnya sejak awal berkuasa. Kelemahan ini ditandai dengan suasana ketidaktertiban rezim penguasa. Bahkan, sekjen partai penguasa, Hasto Kristyanto, menuduh bahwa dia dijalimi oknum penguasa. Bagaimana mungkin Sekjen Partai penguasa dizalimi? Apakah itu menunjukkan keretakan dalam tubuh rezim?

Diantara situasi kelemahan ini, elit Kantor Staf Presiden, saat ini melemparkan isu perombakam kabinet. Isu perombakan kabinet tentu saja memberi peluang bagi Jokowi untuk kembali pada cita-cita revolusi mental dan nawa citanya, serta sekaligus memberi harapan baru bagi rakyat. Namun, isu perombakan kabinet juga menyisakan pertanyaan tentang “kenapa mengurus negara seperti main-main?” Seharusnya, desain organisasi pemerintahan, apalagi bagi petahana, sudah sejak awal dirancang dengan matang dan ditunjukkan dengan soliditas kabinet, yang disisi oleh orang2 profesion dan membumi.

Jika perombakan kabinet yang dihembuskan elit Kantor Staf Presiden merujuk pada perlunya koreksi moral pemerintahan Jokowi, maka hal itu menjadi penting. Sebaliknya, jika hanya merujuk isu salah komposisi kabinet, perombakan itu hanyalah politik kekuasaan yang kurang bermoral.

*Penutup*

Kita harus benar2 mengembalikan spirit bernegara pada tempat dan arah yang benar. Bernegara dalam konstitusi kita adalah mengutamakan rakyat. Mengutamakan rakyat adalah konsep moralitas yang sudah diajarkan Bung Hatta, dan para founding fathers lainnya.

Mengutamakan rakyat hanya bisa dilakukan jika penyelenggara negara mampu memisahkan kepentingan pribadi/ kelompoknya dengan kepentingan rakyat. Memisahkan kepentingan itu, lebih jauh lagi adalah membunuh ambisi ambisi memperkaya diri.