Adian Husaini: Rusak atau tidaknya Agama Islam, Lihatlah Ulamanya….

Wacana sekuler dan liberal dari Barat telah menyerang santri, mahasiswa dan sejumlah dosen di perguruan tinggi, tokoh dan ulama. Tak sedikit dari mereka yang kena "virus" impor itu. tanpa sadar hal itu mereka ajar dan sampaikan kepada murid, santri dan mahasiswa dan khalayak umum.

Akibatnya, banyak di antara mereka yang tak percaya lagi bahwa Al-Qur’an adalah murni wahyu Allah, mereka menggugat kesucian dan validitas wahyu Allah Swt itu. Selain itu mereka juga menggugat ulama-ulama saleh, seperti Imanm Syafi’i, al-Ghazali dan lainnya. Gejala apakah ini? Di mana peran ulama kita?

Institute Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST), sebuah lembaga penelitian dan kajian keilmuan dan peradaban, telah melakukan workshop di berbagai ormas, pesantren, jurnalis dan kalangan lainnya dari mulai kawasan pesisir sampai Mesir untuk memberikan pencerahan. Ketika workshop di Mesir, sambutan dari mahasiswa S1 sampai S3 luar biasa. Bulan Mei kru INSIST dijadwalkan akan diundang ormas-ormas Islam Sumatera Barat (Sumbar), dan masih banyak lagi kegiatan lainnya.

Untuk mengetahui lebih lanjut, pengamat dunia Islam Adian Husaini menuturkan kegiatannya dan penelitiannya tentang perkembangan pemikiran sekularisme-liberalisme kepada eramuslim. "Banyak ulama kita yang tidak sadar dan tak paham. Kalau mau melihat agama ini rusak atau tidak, lihatlah ulamanya" katanya. Berikut petikannya wawancaranya;

Anda bersama anggota INSIST sudah menggelar workshop di berbagai tempat, dari mulai pesantren, ormas-ormas Islam, aktivis, jurnalis dan para tokoh. Bahkan sampai ke Mesir. Apa yang Anda temukan dari kegiatan tersebut?

Pemikiran Barat dalam studi (pemikiran) Islam memang sudah sangat kuat berakar. Itu sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu dilakukan. Sehingga hasil yang sekarang adalah hasil yang wajar. Jadi pelan-pelan jelas. Kiblat atau arah pemikiran Islam sudah lama digeser dari Timur Tengah ke Barat. Berapa banyak sih dosen yang dikirim ke Timur Tengah dibanding ke Barat. Jelas jauh kuantitasnya. Sehingga wacana studi Barat dalam pemikiran Islam sudah sangat berkembang.

Contohnya?

Sebagai contoh, misalnya, masuknya materi hermeneutika sebagai alat menafsirkan al-Qur’an. Itu sudah masuk menjadi kurikulum wajib. Kemudian kajian orientalisme di jurusan Tafsir Hadis, juga sudah diwajibkan dengan literatur-litaratur dan referensi yang justru mendukung orientalis yang mengkritik al-Qur’an. Ini bukan masalah kecil lagi. Ini masalah besar. Jadi kekeliruan berfikir dan penyesetan berfikir itu sudah tak lagi wacana di luar, tapi sudah menjadi wacana struktural kurikulum di perguruan tinggi. Ini sangat serius masalahnya.

Lalu ketika kami ke Mesir, mengisi acara workshop di sana, mendapat suatu realita, ada kesenjangan informasi dalam soal pemikiran Islam. Teman-teman di Timur Tengah, di Kairo, di Madinah, Jeddah, itu teman-teman yang sangat concern dan bersemangat dalam bidang ulumuddin, di bidang tafsir, hadis, perbandingan agama, dan lain-lain. Tapi mereka kurang memahami relaitas, arah dan trend yang terjadi di Indonesia. Sehingga jarang sekali di antara mereka yang menyiapkan betul dan melengkapi dengan ilmu-ilmu yang dibutuhkan di Indonesia. Sebagai contoh misalnya, di Mesir itu ada pakar Zionis Abdul Wahhab al-Mashiry. Dia menulis kitab "Maushu’ah al-Shuhyuniyyah", yaitu tentang Ensiklopedi Zionisme delapan jilid. Dia pakar dalam bahas Ibrani juga dan lainnya.

Tapi waktu saya ke sana, tidak ada mahasiswa Indonesia yang secara khusus berguru tentang Zionisme kepada dia, dan menekuni tentang Zionisme itu sampai membahas Ibraninya. Karena setahu saya di Indonesia belum ada seorang Muslim yang pakar dalam bidang Zionisme sampai ke akarnya agama Yahudi dan bahasa Ibraninya. padahal di sana buku-buku itu murah. sampai buku-buku bahasa Inggris yang murah kurang termanfaatkan. Itulah yang kami sampaikan.

Apa yang terjadi di Indonesia. Tantantangannya apa, ilmu-ilmu yang dibutuhkan umat saat ini. Seperti ilmu tafsir itu sangat perlu. Tapi sekarang pakar tafsir itu harus melengkapi dirinya dengan masalah hermeutika. Kenapa? kalau nanti dia pulang ke Indonesia, ilmu tafsir itu sudah diserang dengan ilmu baru, dengan hermeutika. Kalau pakar-pakar tafsir ini tidak menguasai hermeutika, dia tidak bisa melakukan amar ma’ruf hahy munkar dengan baik.

Terjadi pergeseran studi ilmu agama dari Timteng ke Barat. Apa karena Timteng tak dipercaya lagi sebagai pusat studi Islam atau karena metodologinya?

Semula itu karena alasannya metodologi. Sebenarnya saya lihat Barat bukan unggul karena metodologi. Karena antara keduanya adalah dua metode yang berbeda. Bahwa studi di Timur Tengah ada kelemahannya, itu iya. Kelemahan teman-teman di Timur Tengah rata-rata adalah menguasai wacana kontemporer. Wacana kontemporer inilah yang sekarang menyerbu. Nah, ulama-ulama kita dahulu, seperti Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan yang lain sangat menguasai pemikiran kontemporer pada zamannya, sehinga mereka mampu memberikan kritik-kritik yang sangat bermutu.

Kalau Imam al-Ghazali mengkritik filsafat, itu beliau menulis beberapa buku tentang filsafat. Ibnu Taimiyah mengkritik Kristen menulis beberapa jilid kitab tentang Kristen, (Al-Jawabu Shahih liman Baddala Diina al-Masih). Sekarang itu yang dituntut bagaimana cendikiawan kita menguasai wacana-wacana kontemporer itu sebagai basis.

Di Timur tengah itu khazanah dan turats (tradisi)-nya bagus dan sangat melimpah, tinggal melengkapi saja dengan khazanah Barat. Kalau yang dari Barat risikonya sangat tinggi. Bukan saja belajar turats, tapi juga frameworknya. Kerangka berfikir dan metodologinya yang bermasalah. Seperti metodolgi agama, mengikuti metodologi relativisme agama. Itu yang dikembangkan. Jelas ini beda. Sejumlah pemikiran liberal dari Timteng seperti Arkoun, Nasr Hamid, dan lainnya tidak begitu terkenal di sana. Tapi ketika masuk ke Indonesia kok jadi lain? Ya itu seperti pemikiran Kholil Abdul Kariem. Pemikiran Marxis itu tak begitu kencang di sana, iya.

Tapi ketika di sini lain. Ini terjadi karena, pertama, intern kita ini kurang sigap dalam menjawab masalah ini. Jadi kalau kita ingin menjawab pemikiran Jabiri Nasr Hamid, Arkoun dan segala macam, maka kita harus memeiliki buku-buku mereka supaya jawaban kita tepat. Itu yang kita kurang. Saya belum tahu ada ulama yang ahli memasuki kancah pemikiran liberal. Lalu soal sistem hukum negara kita memungkinkan untuk itu. Ini karena negara kita bukan negara Islam, sehingga masalah pemikiran di era kekebasan ini mendapat porsi yang kencang. Orang ngomong apa saja di sini boleh tidak ada masalah. Ada semacam unsur pubertas liberalisme. Jadi sok liberal. Kalau orang dulu ada sok Belanda. Belanda yang kulit putih itu kadang-kadang lebih halus daripada Belanda yang hitam (Indonesia).

Sejauh mana para sarjana dan ulama Indonesia memahami dan sadar mengenai masalah ini?

Nah, banyak yang memahami secara global. Misalnya, masalah pluralisme agama banyak yang paham masalah itu. Tapi karena memang bukan di bidangnya, atau belum sempat mendalami secara serius, akhirnya tidak mendalam.. Itu yang sekarang kita mengajak kerja sama dengan lembaga-lembaga Islam bagimana mengkaji masalah kontemporer. Karema INSIST yang pertama kali mengkaji ini, ya kita yang harus bertanggungjawab untuk memberikan kajian-kajiannya dari research. Misalnya, ketika di Malaysia. Di ISTAC sudah lama materi itu diajarkan. Justru dengan sudut pandang yang berbeda dengan yang berkembang di UIN. Karena sejak awal Prof. Al-Attas, sejak tahun 1980, sudah mengatakan hermeutika berbahaya buat menggantikan tafsir al-Qur’an, dan dia bukan tafsir al-Qur’an. Kemudian di ISTAC juga dilengkap dengan litetarur hermeutika dan dosen-dosen yang pakarnya dari Roma didatangkan. Sehingga teman-teman yang belajar di ISTAC mudah memahami hermeutika, bahwa hermeutika ini dikembangkan oleh orientalis di sana sehingga ketika tahu duluan. Ibarat penyakit, kita bisa mendekteksi. Ini yang sekarang di kalangan ulama rata-rata belum mengerti masalah ini. Itu yang kita lakukan dengan berbagai lembaga Islam dan mengadakan workshop untuk memperkenalkan kepada mereka, termasuk buku saya, Wajah Peradaban Barat, itu sebagiannya membahas hermeutika.

Bukankah belajar di Timur atau di Barat itu tergantung orangnya. Misal Prof. DR. Rasyidi belajar di Paris, tapi ia sangat tajam dengan pemikiran di Barat?

Ini problem sistem atau personnya. Sistemnya sangat kuat. Framework-nya juga kuat. Mereka itu sudah kenal istilah inklusif-eklusif, pluralis, tekstual- kontekstual, relatif. Istilah-istilah itu sudah kuat dalam pikiran mereka. Kalau mereka menulis sesuatu sudah masuk dalam framework seperti itu. Sehingga perlu framework alternatif. Itu yang sekarang kita tawarkan. Kalau Anda tidak ingin dan tak mau framework orientalis, lalu pakai framework apa? Ini lho epistemologi Islam.

Artinya selama ini mereka tidak kritis terhadap framework dan wacana dari Barat?

Itu karena kuatnya para orientalis. Yang kedua, juga karena kelemahan. Kalau kita kuat, misalnya, kalau kita bisa seperti Naquib al–Attas, Rasyidi, Musthafa A’dhami. Mereka belajar kepada orientalis, tapi justru menjadi pengkritik para orientalis. Ketiga, karena ada kemudahan uang. Balajar di Barat itu lebih nyaman, perpustakaan lebih lengkap.

Lalu sejuah mana kemudian INSIST mencounter wacana Barat yang sekarang berkembang?

INSIST ini sebenarnya tidak ingin berhadapan dengan liberalisme, karena kita ini ingin membangun kekuatan umat sendiri. Tantangan itu selalu ada terus-menerus, dan kita perlu menjawab tantangan itu. Tanpa membangun umat Islam sendiri, itu kurang efektif.

Anda mengatakan menghadapi satu ulama jahat lebih berat daripada menghadapi seribu pastor. Bisa dijelaskan?

Iya. Karena, Rasulullah sendiri berkata seburuk-buruk makhluk adalah ulama jahat. Yang paling kutakutkan adalah orang-orang munafik yang canggih dalam berargumentasi. Ulama itu kan pewaris Nabi. Artinya, dialah yang menjaga dan melanjutkan risalah kenabian. Kalau yang diamanahi untuk menjaga agama ini rusak, itu kan celaka. Ibaratnya, dalam tubuh kita ada darah putih itu untuk pertahanan tubuh, tapi darah putih itu justru menjadi kanker. Jadi kalau mau melihat agama ini rusak atau tidak, maka lihatlah ulamanya.

Lalu apa yang kita lakukaan menghadapi penyakit itu?

Ibaratnya kalau penyakit, kalau ada wabah melebar, maka yang perlu kita selamatkan adalah yang sehat dulu. Yang sehat-sehat harus diselamatkan. Dengan apa? Yakni dengan memberikan vaksinasi akan bahaya penyakit ini supaya mereka tidak kena. Oleh karena itu untuk mengetahui pemikiran yang batil itu hukumnya fardlu ‘ain bagi ulama, karena ulama itu bertanggungjawab melindungi umat terhadap serangan yang batil itu.

Saya pikir pada zaman Imam al-Ghazali belum ada tv, koran, apalagi yang sekarang, kebatilan itu lebih serius lagi. Lalu untuk yang sakit. Ini ada dua, ada yang sadar dia memang sakit, dan ada yang tidak sadar. Yang sakit yang tidak sadar ini harus disadarkan bahwa dia ini sakit. Nah, setelah sadar kita berikan obat untuk menangani penyakit dan bahaya penyakit itu. Dan yang tidak bisa diselamatkan ya diamputasi supaya dia tidak mengganggu yang lain. Ibarat kanker, ya mesti dibuang. Seperti kata Allah, ”Dan jangan kamu risau dengan orang-orang kafir. Mereka memang berlomba-lomba dalam kekufuran.” Mereka memang memilih jalan itu. Kewajiban kita amar ma’ruf nahi munkar. Lana a’malun walakum a’malukum.

Jadi ulama, pondok pesantren kita saat ini menghadapi tantangan yang besar. Tapi ini juga sekaligus peluang yang sangat besar. Menghadapi tantangan yang besar ini apa mereka sadar dengan hal itu? Banyak yang tidak yang saya lihat. Sadarnya biasanya setelah kena. Misalnya ketika ada workshop di Kairo. Ada banyak anak-anak kyai. Mereka bercerita bagaimana pesantrennya pada kena. Setelah pesantrennya pada kena ada yang mengkritik Imam Syafi’i, dan mulai menyerang al-Qur’an. Kemudian kyainya kaget. Lho kok sudah kayak begini. Justru kita saat ini diberi peluang oleh Allah Swt dengan masalah ini.

Bagaimana pemerintah bisa ikut andil membentengi umat dari penyakit tersebut?

Pemerintah berat sekali. MPR saja sulit membendung paham komunisme. Apa bisa mereka menghentikan peredran buku-buku komunisme. Pemikiran liberalisme juga demikian. Walaupun MUI, NU sudah mengeluarkan fatwa tentang liberalisme. Tapi kenyataan di lapangan, hegemoni informasi dari Barat itu sangat kuat. Masalah ilmu harus kita hadapi dengan ilmu, wacana informasi harus kita hadapi dengan informasi. (dina)