Misi Utama Agresi Israel ke Libanon, Bukan untuk Bebaskan Serdadunya yang Ditawan

Ketegangan di Timur Tengah kembali memuncak setelah Israel melakukan agresinya ke Jalur Gaza, Palestina dan Libanon. Agresi militer Israel ke kedua wilayah itu dipicu oleh hal yang sama yaitu tertawannya serdadu-serdadu Israel oleh para pejuang Palestina dan Hizbullah. Tapi benarkah agresi militer Israel itu semata-mata hanya untuk membebaskan serdadunya?

Ternyata tidak. Israel sebenarnya punya agenda utama yang lain, yang menjadi prioritas utama agresinya, khususnya ke Libanon. Hal ini terungkap dalam wawancara Efraim Inbar, profesor ilmu politik di Universitas Bar-Ilan dan Direktur sebuah organisasi think-tank, Israel yang dimuat situs al-Jazeera. Berikut petikannya;

Apa sebenarnya tujuan utama agresi Israel ke Libanon?

Tujuannya sederhana saja. Israel ingin menghentikan ancaman serangan misil ke wilayahnya, memaksa Hizbullah keluar dari Libanon selatan dan berusaha untuk menghancurkan sebanyak mungkin peralatan militer Hizbullah. Tanggung jawab langsung dari Hizbullah yang dengan tegas ingin menghancurkan Israel dan mendeklarasikan Israel sebagai musuh mereka.

Pemerintah Libanon secara formal mungkin dalam kondisi perang dengan Israel, tapi mereka tidak melakukan tindakan apapun terhadap Israel. Persoalannya, pemerintah Libanon tidak mampu memperluas kedaulatannya ke seluruh negara bagian, sehingga memungkinkan Hizbullah beroperasi sebagai kelompok bersenjata yang independen yang ingin mendirikan negara dalam negara.

Menurut Anda, apakah publik Israel berpendapat bahwa membunuh lebih dari 300 warga sipil Libanon-kebanyakan warga sipil-sebagai tindakan yang proporsional?

Umumnya, warga Israel mendukung pemerintahnya. Yang menjadi isu di sini sebenarnya bukan penculikan dua serdadu Israel, tapi Hizbullah yang sejauh ini dianggap mengancam kehidupan seperlima populasi Israel. Katanya, Hizbullah punya misil-misil jarak jauh yang bisa menjangkau lebih banyak penduduk Israel.

Dalam konteks itu, menjadi kewajiban moral dan tugas utama Israel untuk melindungi warganya. Secara pribadi, Saya tidak yakin apakah yang sekarang kita lakukan merupakan tindakan yang benar. Saya pikir fokusnya seharusnya adalah Damaskus, bukan Libanon.

Apakah ada kemungkinan pemerintah Israel sudah melakukan kontak dengan pemerintah-pemerintah Arab tertentu?

Kemungkinan ada konsultasi dalam level yang bervariasi dengan Mesir, Yordania dan negara-negara lainnya seperti Tunisia, Maroko, di Oman atau Qatar. Jalur diplomasi tidak tertutup untuk jangka waktu tertentu dan kemungkinan, dialog masih berlangsung.

Invasi terakhir Israel ke Libanon, telah menimbulkan luka yang memicu munculnya ekstrimisme di wilayah itu. Mengapa hal ini tidak menjadi pertimbangan Israel dalam agresinya kali ini?

Saya tidak yakin, Israel-lah yang memicu ektrimisme di dunia Arab. Penyebab utamanya adalah kegagalan negara-negara Arab untuk melakukan transisi bertahap ke arah modernitas, sehingga menimbulkan masalah politik dan sosial yang mengarah pada ektrimisme.

Penjajahan Israel di Libanon selatan bisa jadi berperan dalam menumbuhkan gerakan Hizbullah, tapi menurut pandangan Saya, hal itu merupakan faktor sekunder karena sudah ada ‘radikalisasi’ di kalangan komunitas Syiah sebelum Israel menjajah.

Apakah Israel juga akan menyerang Iran dan Suriah?

Saya menganjurkan untuk menyerang Suriah, dalam beberapa hal Kami sudah kehilangan banyak amunisi di Libanon. Tapi Saya tidak yakin pemerintah Israel akan mempertimbangkan hal itu. Pemerintah sudah membuat pernyataan tidak akan memperluas konflik dengan melakukan serangan ke Suriah.

Iran terlalu jauh dan Saya pikir Kami menyerahkan saja persoalan Iran pada Amerika, setidaknya untuk saat ini.

Bagaimana anda melihat proses perdamaian saat ini?

Lupakan saja. Semua itu sudah berakhir. Kita dalam kondisi pascaparadigma dua-negara (Israel-Palestina). Utamanya karena Palestina gagal membangun entitas politiknya. Sama dengan Libanon, Palestina telah membiarkan keberadaan kelompok milisi.

Selain mengajar di Universitas Bar-Ilan, Efrim Inbar juga dikenal sebagai penulis dan kolomnis di Jerusalem Post serta Direktur Begin-Sadat Centre for Strategic Studies. (ln/aljz)