Jalan Diponegoro dan Jalan Kiai Mojo

Diponegoro sangat mengetahui karakter penjajah dan antek-anteknya yang penuh tipu daya, sehingga dia menutup rapat-rapat pintu perundingan (dalam istilah sekarang: rekonsiliasi). Kaum penjajah dan antek-anteknya hanya bisa dihancurkan dengan jalan perang, tidak dengan yang lain. Namun beberapa orang terdekatnya, yang masih menyisakan prasangka baik terhadap para penjajah, terbujuk dan mau menggelar perundingan diam-diam, tanpa sepengetahuan Diponegoro, hingga akhirnya mereka terperdaya dan akhirnya ditangkap Belanda.

Jalan Diponegoro adalah jalan para Nabi, yang setelah mendakwahkan Al-haq secara baik-baik namun malah ditertawakan dan dihujat serta ingin dibunuh, maka akhirnya memilih jalan jihad fi sabilillah tanpa kompromi. Hanya lelaki sejati yang sanggup bertahan dalam jalan ini, sendirian dalam kesempitan dunia, menjalani hari dalam kesunyian, dan kesusahan, demi memperjuangkan kebenaran (al-haq). Diponegoro sangat paham jika dunia hanyalah tempat untuk menabung amal demi anak cucu. Dia merasa sangat trenyuh melihat rakyatnya sengsara akibat perang, tapi dia terus berjuang karena apa yang diperjuangkan jauh lebih besar manfaatnya di masa depan, bagi anak cucu, ketimbang melihat yang sekarang. Apa yang dilihat sekarang belum tentu baik bagi masa depan. Diponegoro sangat mengerti hal ini.

Tidak ada kata damai terhadap penjajah dan antek-anteknya yang jelas-jelas berlaku curang, zalim, dan memusuhi agama Allah.

Sedangkan sejumlah orang terdekatnya masih menyisakan prasangka baik terhadap penjajah dan antek-anteknya, sehingga ketika dengan wajah dan mulut manis kaum penjajah mengeluarkan bujuk rayunya, bahkan banyak yang bersumpah atas nama tuhan, maka luluhlah hati mereka dan mau diajak ke meja perundingan. Mereka pada akhirnya tersadar telah salah memahami penjajah Belanda namun semuanya terlambat.

Di akhir episode Jihad Diponegoro, orang besar ini melalui hari dalam kesendirian, kesusahan, dan kesengsaraan, namun dia tidak pernah mengeluh sedikit pun.

Sesuai dengan tradisi Jawa dimana selama bulan Ramadhan semua peperangan dihentikan, maka demikian pula dengan Diponegoro. Belanda pun mengetahui dan menghormati hal ini. Bahkan di antara musuh pun sudah bisa saling silaturahmi.

Menjelang Ramadhan 1245 H (1830 M), de Kock menunjukkan itikad baiknya dengan memberikan beberapa kain dan bahkan juga kuda kepada Diponegoro. De Kock, seperti Ramadhan sebelumnya, juga mengundang Diponegoro dan pasukannya untuk bertemu dalam suasana ramah tamah. Namun kali ini ternyata de Kock menyimpan niat busuk. Pada hari Senin, 13 Ramadhan 1245 H (8 Maret 1830 M), Diponegoro memenuhi undangan de Kock bersilaturahmi di Karesidenan Kedu. Namun dengan penuh tipu daya de Kock menangkapnya.

Saat menyadari dirinya ditipu habis-habisan, Diponegoro marah. Dalam babadnya beliau mengaku bisa membunuh de Kock saat itu juga, namun diurungkan mengingat tidak elok jika dalam undangan silaturahmi yang seharusnya dipenuhi dengan sifat-sifat kebaikan dia harus menumpahkan darah, walau darah musuhnya sendiri. Diponegoro ditangkap, namun Diponegoro tetap tidak mau menyerah dan tidak mau mengakui kekuasaan penjajah Belanda. Sampai akhir hayatnya, Diponegoro tetap dalam komitmennya: hidupku hanya untuk meninggikan Kalimat Allah Swt. [end/rizki ridyasmara]

=======================================================================

Banyak buku atau novel terkait Pangeran Diponegoro ini,  tapi sangat jarang sekali pemaparan kisah hidupnya dengan pendekatan tinjauan aqidah islam.

Novel ini sangat menarik untuk dibaca,  saat ini adalah sekuel pertama dari 3 sekuel yang direncanakan. Pada sekuel pertama ini,  diawali kisah diponegoro kecil yang beranjak dari kehidupan di lingkungan Istana hingga memulai pertempuran dengan Belanda. Novel ini membantah pertempuran diponegoro dengan belanda hanya sekedar makam leluhurnya yang di”beslah” pihak Belanda,  jauh sekali alasan itu sebagai pemicu perangnya, apa alasan Diponegoro bertempur?  Silahkan dilanjutkan dengan memiliki Buku ini…

Dan yang terpenting , kisah ini tersaji dengan mengalir,  senikmat menonton dan jarang diungkap di buku buku lainnya terkait perjuangan beliau…

Selamat membacanya. .

Harga : Rp 110.000 (belum termasuk ongkirnya).

Karya : Rizky Ridyasamara

Jumlah halaman : 400 halaman

Penerbit : eramuslim

Bila berminat,  silahkan WA/SMS ke 085811922988 , dengan menyebutkan nama pemesan,  alamat kirimnya,  agar kami berikan penawarannya termasuk ongkirnya

Wassalamu alaikum wr wb.