Anak-Anak, Bayar Mahal Luka Perang di Irak

Invasi AS ke Irak tahun 2003 menimbulkan derita mendalam bagi anak-anak Negeri 1001 Malam itu. Hiruk pikuk perang, membuat anak-anak korban perang itu luput dari perhatian dunia internasional.

Badan bantuan untuk anak-anak PBB-UNICEF Rabu (23/5) menyatakan, jutaan anak-anak Irak telah menjadi korban konflik dan situasi yang buruk selama seperempat abad. Sampai saat ini mereka masih terperangkap dalam tragedi kemanusiaan yang makin memburuk.

UNICEF mengingatkan, situasi di Irak dengan pertumpahan darah yang tiada henti, tidak adanya jaminan ekonomi dan pengungsian dalam jumlah besar, menyebabkan anak-anak dalam kondisi yang kritis.

"Aksi-aksi kekerasan menyebabkan munculnya para janda, anak-anak yatim, setiap hari. Banyak di antara mereka yang harus berjuang keras untuk bertahan hidup, " demikian UNICEF.

Data UNICEF menyebutkan, sejak invasi AS tahun 2003, jumlah warga Irak yang mengungsi mencapai empat juta orang, dan setengahnya adalah anak-anak. Para pengungsi itu banyak yang berpindah ke tempat yang kondisi sosialnya sudah buruk atau kerap mengalami kekerasan. Situasi makin memprihatinkan, karena kalangan profesional yang bekerja di rumah-rumah sakit dan sekolah juga ikut mengungsi.

"Irak kini kekurangan orang-orang yang bisa memberikan perhatian pada anak-anak, sehingga terjadi gap yang dalam kehidupan sehari-hari anak-anak Irak. Masalah ini kadang terabaikan di tengah maraknya aksi -aksi kekerasan, " papar perwakilan khusus UNICEF di Irak, Robert Right.

Jumlah anak-anak Irak sekarang hampir 50 persen dari total penduduk Irak yang berjumlah 27 juta jiwa. UNICEF mengatakan, mereka sangat membutuhkan bantuan sedikitnya sebesar 41, 8 juta dollar untuk enam bulan ke depan.

UNICEF akan menggunakan dana itu untuk memenuhi kebutuhan vaksinasi, makanan, persediaan air bersih, membangun sekolah-sekolah dan membantu negara-negara tetangga Irak yang ingin memberikan bantuan bagi anak-anak Irak.

Trauma dan Cacat

Bukan hanya luka fisik yang membuat anak-anak Irak menderita. Tapi banyak di antara mereka yang mengalami trauma akibat kekerasan demi kekerasan yang terjadi di depan mata mereka.

Ziad Irhama, 8, tidak akan pernah melupakan peristiwa menyedihkan ketika ia menyaksikan ibu dan saudara laki-lakinya tergeletak di tanah bermandikan darah. Bom mobil bukan hanya merenggut nyawa orang-orang yang dicintainya, tapi juga telah membuatnya cacat fisik.

"Sekitar 30 persen anak-anak cacat yang terdaftar adalah korban ledakan bom-bom mobil dan bom-bom yang ditanam di jalan, " kata Qamar Abdul Rahman, kepala Bulan Sabit Merah di Baghdad.

Beberapa korban bahkan ada yang mengalami luka sangat serius, dan perawatannya tidak bisa ditangani di Irak. Salah seorang anak Irak yang mengalami hal ini adalah Ali Murtadha.

Para dokter mengatakan, kondisi bocah berusia 10 tahun itu sangat kritis. Kakinya hancur terkena pecahan mortir saat sekolahnya di Karbala dijatuhi bom.

"Di sini, kami tidak punya fasilitas atau peralatan medis yang memadai untuk menyelamatkan anak ini, " kata Dr. Abdul Razeq Khalaf.

Di selatan Kota Ramadi, kisah Yas Khidhir tak kurang menyedihkannya. Yas yang masih berusia 9 tahun lumpuh mulai dari pinggul ke bawah. "Saya baru saja meninggalkan sekolah dan terkejut ketika menyadari diri saya berada di tengah-tengah pertempuran. Saya terkena pukulan di bagian punggung dan sekaran saya lumpuh, " tuturnya seperti dikutip AFP.

Mahmud Ahmad, ayah dari Abdullah yang berusia 7 tahun juga mengisahkan anaknya jadi cacat karena terkena pecahan mortir. "Anak saya sekarang tidak bisa belajar atau bermain dengan teman-temannya karena dia cacat. Anak-anak kami telah membayar harga yang sangat mahal bagi perjuangan di sini, " kata Ahmad sedih. (ln/iol)