Era AS di Timur Tengah Sudah Mati, Iran Jadi Kekuatan Baru

AS sudah tidak punya gigi lagi di Timur Tengah. Pengaruh AS di kawasan itu dinilai sudah tamat riwayatnya akibat perang AS di Irak dan dukungan butanya pada Israel.

Hal tersebut diungkapkan oleh mantan pejabat senior pemerintahan Presiden George W. Bush, Richard Haass.

"Era Amerika di Timur Tengah… sudah berakhir," kata Hass dalam artikelnya di Foreign Affairs, sebuah jurnal yang diterbitkan Council on Foreign Relations, berisi ulasan isu-isu terkini dari seluruh dunia, kebijakan luar negeri dan hubungan internasional.

Menurut Haass, yang bekerja di departemen luar negeri pada termin pertama pemerintahan Bush, masa jaya AS di Timur Tengah sudah mati karena berbagai faktor. Dalam jurnal edisi November/ Desember 2006, Haass menulis, faktor yang paling signifikan adalah keputusan Bush menginvasi Irak pada 2003 serta cara Bush dalam melakukan operasi dan menyebabkan penindasan.

Apalagi invasi Bush ke Irak tidak atas mandat dari PBB dan hanya berdasarkan klaim bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Tudingan yang dikemudian hari ternyata tidak terbukti.

"Fakto-faktor lainnya juga relevan. Salah satu adalah mandegnya proses perdamaian di Timur Tengah," tulis Haass.

AS banyak menuai kritik karena dukungan butanya pada apa yang dilakukan Israel di wilayah Palestina. Hal tersebut membuat Washington tidak lagi dipandang sebagai "mediator yang jujur" meski AS selalu beralasan bahwa apa yang dilakukan Israel di Palestina adalah "tindakan pertahanan diri."

Sekedar informasi, dalam agresinya di Jalur Gaza selama lima bulan belakangan ini, Israel sudah menewaskan lebih dari 400 warga Palestina.

Haass menulis, sebelumnya, AS sangat menikmati hubungannya yang unik baik dengan negara-negara Arab dan Israel.

"Tapi batas hubungan itu mulai lemah saat disepakati perjanjian Camp David pada tahun 2000. Sejak itu, lemahnya penerus Yasser Arafat, munculnya Hamas dan sikap sepihak Israel telah membuat AS terkesampingkan, sebuah pergeseran yang ditimbulkan oleh keengganan pemerintahan Bush untuk melakukan diplomasi secara aktif," papar Haass.

Pengaruh AS Digantikan Iran

Lebih lanjut Haass menyatakan, munculnya kekuatan regional seperti Iran makin memicu redupnya pengaruh AS di Timur Tengah.

"Iran akan menjadi salah satu dari dua negara paling berpengaruh di kawasan itu. Iran memiliki kekayaan, punya pengaruh kuat di Irak dan memegang dua kekuasaan yang cukup besar atas Hamas dan Hizbullah," kata Haass.

Ia mengingatkan, Tehran bisa menimbulkan "kerugian besar" bagi kepentingan-kepentingan AS di Timur Tengah.

Analisa Haass tentang kekuatan Iran ini sejalan dengan kesimpulan yang dibuat oleh lembaga think-tank Chatam House yang berbasis di London. Lembaga ini menyatakan, kebijakan-kebijakan AS yang kurang hati-hati telah membuat rival-rivalnya makin berani.

"Hanya sedikit keraguan bahwa Iran yang paling diuntungkan dalam perang melawan terorisme di Timur Tengah," kata Chatam House. Iran diuntungkan karena AS telah menyingkirkan musuh-musuh Iran yaitu pemerintahan Taliban dan Saddam Hussein.

Mantan pejabat AS lainnya, Robert Malley yang bekerja di dewan keamanan nasional pada masa pemerintahan Presiden Clinton, sepakat dengan kesimpulan Chatam House.

"Akibat-akibat perang di Irak hanya sebuah permulaan untuk membuka kawasan Timur Tengah bagi akan munculnya sebuah struktur keamanan baru," kata Malley.

Dengan berakhirnya pengaruh AS di Timur Tengah, apakah artinya peran AS juga akan lenyap? Menurut Haass, tidak. Washington, katanya, tetap akan menjadi pemain utama di luar lingkaran.

"Tetapi pengaruhnya akan makin berkurang dari sebelumnya," kata Haass yakin.

Lantas bagaimana dengan nasib sekutu-sekutu AS? Haass menganalisa bahwa sekutu-sekutu AS akan melakukan pendekatan yang berbeda dengan yang dilakukan AS di Timur Tengah.

"Uni Eropa akan menawarkan sedikit bantuan di Irak dan akan melakukan pendekatan yang berbeda dalam persoalan Palestina. China akan terus menekan Iran dan akan meminta jaminan tersedianya sumber-sumber energi. Rusia juga akan menentang sangsi bagi Iran dan akan mencari kesempatan untuk menunjukkan bahwa dirinya bebas dari pengaruh AS," jelas Haass.

Meski demikian, sejumlah analis AS lainnya tidak sepakat dengan pendapat Haass bahwa era AS di Timur Tengah sudah berakhir.

"Saya 110 persen tidak setuju soal matinya era AS.. bahwa kita cuma manusia mati yang berjalan," kata Robert Satloff, direktur eksekutif Washington Institute for Near East Policy.

"Negara-negara Arab meminta kita, memohon pada kita untuk tetap terlibat," ujarnya pada Institute of Peace Forum.

Hal serupa diungkapkan oleh analis dari Rand Corporation, Robert Hunter yang pernah bekerja pada Presiden Clinton, Carter dan Johnson.

"Saya sangat tidak suka artikel itu, terlalu skematis dan tidak cukup bertalian dengan segala sesuatu yang kita lakukan secara efektif." (ln/iol)