Kenangan Perang 1967: Sejak Itulah, Kami Terpisah dengan Anak-Anak Kami

Sejak meletusnya perang Juni 1967, dan pendudukan Israel berlangsung di Tepi Barat serta Jalur Ghaza, Israel telah membagi penduduk Palestina ke berbagai kelompok sesuai wilayah yang telah mereka rampas. Siapa saja yang tetap berada di kampung halamannya setelah pendudukan Israel maka ia akan dianggap sebagai penduduk di tempat tersebut.

Dan malangnya, bagi mereka yang kebetulan tak berada di tempat tinggalnya, status mereka adalah orang asing. Ketika peperangan baru saja berlangsung, siapa saja yang mengendarai kendaraan milik Israel yang masuk ke kampung dan kota di Tepi Barat maka ia tidak akan keluar kembali kecuali dengan keterangan khusus dari pihak Israel.

Inilah yang ditolak mentah mentah oleh para penduduk Palestina. Menurut hitungan terakhir, jumlah orang Palestina yang hidup di luar Ghaza dan Tepi Barat lebih dari 4 juta orang. Sedangkan mereka yang dianggap sebagai penduduk di Tepi Barat, jika ia pergi untuk belajar di luar Tepi Barat, maka ia tidak akan diizinkan kembali ke kampungnya kecuali dengan keterangan Israel.

Hal itu dialami Omar Hejazi, yang menetapkan untuk tidak kembali ke Tepi Barat kecuali setelah ia berhasil di wisuda di Universitas Polandia. Sikap itu terpaksa dilakukan karena takut akan tindakan Israel terhadap dirinya, yang bisa menyebabkan ia tak bisa kembali meneruskan kuliah.

Omar terpaksa tinggal di Polandia lebih dari enam tahun untuk belajar hingga mendapat gelar magister di bidang kesehatan. Dan ketika ia akhirnya ingin kembali ke Tepi Barat, ternyata sudah tidak mungkin lagi.

Tak ada data detail tentang jumlah mereka yang akhirnya tinggal di berbagai negara Arab atau Eropa.

Sejak peperangan Juni 1967, siapa saja yang ketika itu berada di luar Tepi Barat dan Ghaza, maka dia dianggap orang asing di hadapan Israel. Orang asing terbagi dua, ada orang asing yang berstatus wisatawan yang bisa bepergian kapan saja, khususnya mereka yang mempunyai paspor dari sejumlah negara Eropa atau Amerika. Dan orang asing yang semua gerak geriknya untuk bepergian harus melalui izin Israel, dan umumnya izin itu pun tidak diberikan.

Omar dan Isham Ahmad adalah dua bersaudara yang berasal dari Tepi Barat. Isham belajar kedokteran di Universitas America di Beirut, saat perang Juni 1967 meletus. Sedangkan Omar belajar di teknik sipil di Universitas Cairo. Orang tua keduanya, sekarang sudah berusia 85 tahun dan sampai saat ini tidak bisa mendapat izin untuk menemui anaknya, sejak tahun 1967. Kedua kakak beradik itu kini berusaha untuk bisa mendapatkan izin Israel dan bertemu dengan ibunya.

Ibu Omar mengenang, “Sejak perang tahun 1967, saya dan suami ingin bertemu dengan Omar dan Isham. Kami pergi untuk menemui mereka di Yordania tapi mendapat kesulitan untuk mendapat izin. Ketika kami sudah tua dan kami tidak lagi bepergian karena kondisi yang sulit, kami lama sekali menunggu untuk bisa bertemu mereka. Sampai ketika suami saya, ayah dari anak anak saya itu jatuh sakit, anak kami juga tetap tidak diizinkan untuk masuk ke Tepi Barat. Sampai akhirnya ayah mereka meninggal, dan mereka tak sempat bertemu dengan ayahnya. ” (na-str/bbc)