Masalah Medis yang Membelit; Ke Dokter Nushairiyah atau Klinik Minim Fasilitas?

Masalah Medis yang Membelit; Ke Dokter Nushairiyah atau Klinik Minim Fasilitas?

Tim Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) tiba di Antakya pada 2 Agustus 2012 setelah satu hari singgah di Istanbul Turki dalam suasana Ramadhan yang penuh khidmat. Tiga hari pertama kami mendatangi pengungsi Suriah di Antakya, kami mendapatkan banyak pelajaran berharga seputar betapa pentingnya sebuah sikap yang bernama kesabaran. Kesabaran adalah senjata terakhir para pengungsi Suriah yang bertahan dengan kondisi sulit di Antakya Turki. Alhamdulillah.

Tiga hari pertama di Antakya kami isi dengan mengunjungi klinik-klinik rumahan dan rumah sakit di Antakya yang merawat korban-korban rakyat Suriah. Mereka, yang dibombardir oleh rezim Syiah Nushairiyah pimpinan Bashar Asad di Suriah. Saat menjumpai mereka, kami sekaligus mempelajari hal-hal yang menjadi kebutuhan paling mendesak saat ini di pengungsian Antakya.

Pemerintah Turki secara umum mendukung rakyat Suriah dan memberi ruang bagi mereka untuk mengungsi seperti yang kita banyak dapatkan beritanya di media massa. Namun fasilitas yang diberikan pemerintah Turki tidak serta merta membuat segala sesuatunya mudah di pengungsian Antakya. Khususnya bagi para korban yang harus mendapatkan perawatan medis intensif. Pasalnya rumah sakit-rumah sakit pemerintah Turki yang berada di Antakya banyak diisi oleh tenaga medis yang seagama dengan rezim Bashar Asad yaitu Syiah Nushairiyah.

Itu membuat pelayanan pengobatan di sini menjadi setengah hati. Walhasil korban-korban rakyat Suriah lebih memilih dirawat di klinik-klinik darurat rumahan yang dikelola oleh tenaga medis asal Suriah yang bermukim di Antakya atau mereka lebih memilih di rawat di rumah sakit swasta di Antakya.

dr. Adi Surya sedang mengobati korban luka di kepala seorang pasien bernama Hasib, di klinik darurat di Antakya, perbatasan Turki-Suriah. Korban terluka akibat pecahan mortir.

Untuk kasus luka-luka atau penyakit ringan yang dialami para korban masih dapat tertangani di klinik-klinik darurat rumahan yang dibiayai secara swadaya dan bantuan dari kaum Muslimin di luar Suriah. Namun untuk kasus korban luka berat atau penyakit yang berat, klinik darurat rumahan tidak mampu menangani dikarenakan harus ada tindakan medis yang menggunakan alat-alat lengkap yang hanya terdapat di rumah sakit besar. Akhirnya sebagian mereka mau tidak mau dirawat di rumah sakit swasta dengan biaya yang sangat mahal.

Diperlukan dana cukup besar mengingat tidak sedikit korban-korban yang harus dioperasi di rumah sakit dengan biaya yang mencapai ribuan Lira untuk sekali operasi itu. Sekadar diketahui, 1 Lira Turki sama dengan Rp. 5000. Salah satu rumah sakit swasta yang kami kunjungi bernama Academi Hastanesi menampung pasien korban rakyat Suriah yang cukup banyak. Dua lantai di rumah sakit itu hanya “dihuni” oleh korban rakyat Suriah yang harus mendapat penanganan medis ekstra seperti operasi.

Jadi, pilihan serba sulit selalu menghantui para korban. Berobat ke dokter Nushairiyah-dengan resiko dipermainkan, pergi ke rumah sakit yang mahal, atau klinik darurat dengan pelayan medis seagama, namun peralatan serba terbatas. Operasional klinik darurat (di sini disebut Mustasyfa Maidani) tersebut selama ini hanya dibiayai dari sumbangan donator kaum Muslimin semata.

dr. Dwi Anton memeriksa tangan Abdurrahman, salah satu korban ledakan bom di Aleppo, yang dirawat di klinik darurat di wilayah perbatasan Turki-Suriah. Tulang tangan korban sempal/hilang. Setelah pemeriksaan tersebut, korban akan dioperasi di rumah sakit Academy Hastanesi, sebuah RS swasta di Turki. Namun operasi harus ditunda sesaat sampai Abdullah mendapatkan biaya. Dana untuk operasi mencapai USD 3000.

Selain masalah peralatan, tenaga medis juga masih sangat diperlukan. Fakta yang saya temukan agak berbeda dengan laporan tim dari Indonesia sebelumnya, yang menyatakan SDM medis di Turki sudah cukup mengcover seluruh kebutuhan pengungsi. Namun di sini saya melihat pasokan dokter masih sangat diperlukan,baik untuk melayani mengungsi di perbatasan wilayah Turki, maupun masuk ke Suriah.

Terakhir, pelajaran paling berharga yang saya temukan di sini adalah kesabaran. Meski jatuh menjadi korban, rakyat Suriah tetap bertekad untuk bertahan dan terus melawan rezim Asad di tengah kesulitan-kesulitan yang mendera mereka. Semangat mereka tak surut untuk terus melanjutkan perlawanan guna memerdekakan Suriah dari cengkraman rezim Bashar Asad.

Tinggal bagaimana kita, apakau kaum kaum Muslimin di Indonesia juga memiliki kesabaran serupa yang membuahkan semangat untuk terus memberikan bantuan dan dukungan bagi mereka guna mengurangi sedikit saja kepungan kesulitan yang kini melanda mereka. Hasbunallah wa ni’mal wakiil.

Antakya, 5 Agustus 2012

Angga Dimas Pershada

Ketua Tim Relawan HASI untuk Krisis Suriah