Parlemen Irak Didesak Segera Bentuk Pemerintahan untuk Cegah Meluasnya Kekerasan

Setelah sempat tertunda Senin lalu, Parlemen Irak rencananya akan melakukan sidang pertamanya pada hari ini, Kamis (20/4) sejak mereka terpilih pada Desember 2005 lalu. Beda pendapat di kalangan faksi di parlemen menyebabkan sampai saat ini Irak masih mengalami kekosongan formasi pemerintahan selama lebih dari empat bulan.

Rencana memanggil anggota parlemen untuk segera melakukan sidang diumumkan setelah AS dan PBB melakukan berbagai upaya, mendesak para pemimpin Irak agar menyetujui susunan pemerintahan agar kekerasan di negeri 1001 malam itu bisa segera diatasi.

Informasi yang dilansir situs Al-jazeera menyebutkan, sudah tercapai kesepakatan untuk mencalonkan Adnan al-Dilaimi, ketua Iraqi Accord Front, sebagai kandidat juru bicara parlemen. Sementara Khalid al-Atiya, anggota koalisi bersatu Irak dan Tayfour al-Naeb, anggota parlemen dari aliansi warga Kurdi dicalonkan sebagai deputi juru bicara parlemen. Meski demikian, sampai saat ini krisis mengenai pencalonan perdana menteri masih belum mencapai titik temu. Sementara itu perdana menteri demisioner Ibrahim Jaafari makin menguatkan keinginannya untuk tetap memegang jabatan itu.

"Sayalah kandidatnya dan aliansi memilih saya," kata Jaafari pada para wartawan merujuk pada United Iraqi Alliance (UIA) yang memenangkan 128 kursi dari 275 kursi di parlemen dalam pemilu Desember lalu dan secara bulat memilih Jaafari pada Februari kemarin.

"Sudah diumumkan bahwa saya kandidatnya dan itu sudah cukup," tegas Jaafari.

Para pemimpin Kurdi dan Sunni menolak pencalonan Jaafari dengan alasan Jaafari tidak mampu mengatasi pertikaian sektarian sejak peristiwa pengeboman masjid Syiah di Samarra pada Februari kemarin.

Sidang pertama parlemen Irak seharusnya dilaksanakan pada Senin (17/4), tapi ditunda. Alasannya, "ingin memberikan waktu bagi semua faksi di parlemen untuk menyelesaikan masalah pencalonan anggotanya dan tercapainya kesepakatan untuk semua pos jabatan di parlemen," kata anggota parlemen dari UIA, Bassem Sharif.

Sementara itu Presiden AS Goerge W. Bush pada Rabu kemarin, mengulagi seruannya untuk membentuk sebuah pemerintahan nasional bersatu, sementara utusan khusus PBB untuk Irak melakukan pembicaraan dengan kelompok ulama Syiah dalam upaya untuk memecahkan jalan buntu.

"Kami secara penuh mengakui bahwa Irak harus melangkah ke depan dan membentuk pemerintahan bersatu. Kevakuman dalam proses politik akan memberi peluang pada kejahatan dan pelanggaran jabatan," kata Bush.

Utusan khusus PBB Ashraf Qazi yang sampai sekarang tetap bersikap low profile dalam percaturan piliruk Irak, melakukan pertemuan dengan sejumlah pemuka-pemuka terdepan Syiah. Di antaranya adalah Ayatullah Ali al-Sistani dan Muqtada Sadr.

Pada sistani, Qazi mengatakan bahwa PBB sangat-sangat khawatir melihat makin meningkatnya kekerasan paska pengeboman masjid Samarra. Ia juga mengatakan, pertempuran sengit antara tentara AS dan Irak dengan kelompok pejuang Irak, menunjukkan makin mendesaknya kebutuhan untuk segera membentuk pemerintahan di Irak. (ln/aljz)