Referendum di Mesir Sepi Peminat

Rakyat Mesir tidak terlalu antusias terhadap referendum yang digelar pemerintahan Husni Mubarak untuk mengamandemen undang-undang dasar negara itu. Keikutsertaan masyarakat dalam referendum yang dilaksanakan Senin (26/3) kemarin di bawah 50 persen.

Menteri Penerangan Mesir, Anas al-Fiqi mengatakan, keikutsertaan masyarakat hanya sekitar 23-27 persen saja. Sementara pemantau independen Committee for Democracy Support yang mengerahkan sekitar 300 pemantaunya menyatakan, sampai pukul 05. 00 sore waktu setempat, warga masyarakat yang ikut memberikan suaranya tidak lebih dari tiga persen.

Ikhwanul Muslimin dan Hesham Mubarak Law Centre-salah satu lembaga pemantau independen-juga menyatakan bahwa keikutsertaan masyarakat dalam referendum hanya sekitar tiga persen.

Hasil referendum akan menentukan apakah amandemen terhadap undang-undang dasar negara bisa dilakukan atau tidak. Sedikitnya ada 34 pasal dalam konstitusi yang akan diamandemen. Presiden Husni Mubarak menyatakan, amandemen diperlukan untuk kepentingan keamanan negara. Tapi kalangan oposisi menuding amandemen itu sengaja dilakukan untuk membatasi kalangan Islamis yang terjun ke dunia politik dan melarang partai-partai politik berbasis agama.

Selain itu, terdapat pasal-pasal yang disebut sebagai pasal anti terorisme yang memberikan kewenangan luas bagi aparat kepolisian untuk menangkap dan memata-matai. Pasal-pasal ini dikritik karena akan membuat Mesir menjadi negara polisi.

Tak heran jika mayoritas kelompok oposisi di Mesir, terutama Ikhawanul Muslimin menyerukan untuk memboikot referendum tersebut.

Meski jumlah masyarakat yang memberikan suara kecil, pemerintahan Husni Mubarak nampaknya tetap akan melanjutkan amandemen. Koresponden al-Jazeera yang meliput referendum di Mesir kemarin dalam laporannya mengatakan, pemerintah "sudah menegaskan bahwa mereka menghargai suara yang mayoritas menyatakan ‘ya’ untuk amandemen, tanpa memperhatikan seberapa banyak orang yang memberikan suara. "

Draft amandemen konstitusi yang diajukan pemerintahan Mesir juga dikritik oleh sejumlah organisasi pemantau hak asasi manusia berlevel internasional. Amnesty International menilai draft amandemen itu sebagai erosi terbesar dalam bidang hak asasi manusia selama 26 tahun belakangan ini.

Human Rights Watch menyatakan, amandemen tersebut "secara efektif telah menghilangkan perlindungan mendasar terhadap hak-hak pribadi rakyat Mesir, serta melanggar kebebasan individu. "

Penyimpangan

Kekhawatiran kalangan oposisi bahwa referendum akan dilakukan dengan tidak fair nampaknya terbukti. Dewan Hak Asasi Manusia Mesir dalam laporannya menyatakan, telah terjadi beberapa pelanggaran dalam sistem pengumpulan suara.

Selain itu, menurut laporan al-Jazeera, banyak warga masyarakat yang tidak paham mengapa mereka harus memberikan suara. Disisi lain, banyak orang yang tidak berhak memberikan suara, justru ikut referendum. Kontributor al-Jazeera menyatakan melihat para pegawai pemerintah diangkut dengan bis-bis ke tempat-tempat pemungutan suara.

Amal Oweid, seorang warga Mesir mengaku tidak mengerti apa yang tertulis di kertas suara. "Seorang laki-laki mendatangi saya dan dia menyuruh saya menandai di sini dan saya pun menandai lingkaran berwarna hijau, " ujarnya. (ln/aljz)