Tunisia Tolak Harakah Nahdhah Islamiyah Jadi Partai Islam

Perjuangan Islam di jalur politik Tunisia masih mengalami hambatan serius. Kemarin, pihak Kementerian Pengadilan dan HAM Tunisia mengeluarkan pernyataan perihal larangan bagi Harakah Nahdhah Islamiyah membentuk sebuah partai politik berdasarkan agama.

Padahal sebelumnya, laporan-laporan media massa Tunis melansir bahwa pemerintah Tunis saat ini tengah mempertimbangkan untuk mengeluarkan izin bagi pembentukan partai Islam. Kementerian Pengadilan dan HAM Tunis, menganggap berdirinya partai berasas Islam sama dengan menjadikan pemerintah “mengkafirkan semua rakyat Tunisia”, lantaran mereka tidak berasas Islam.

Menteri Pengadilan dan HAM, Albashir Attakari dalam dialognya di televisi kerajaan Tunis mengatakan, “Kami menolak bila kelompok atau gerakan manapun berdiri atas agama Islam yang menjadi agama semua rakyat Tunis. Jika kami menerima partai politik berasas agama, maka itu sama saja kami mengkafirkan semua rakyat Tunis. ”

Ia melanjutkan, kelak partai berlandaskan Islam pun takkan bisa berdiri lantaran berbenturan dengan undang-undang partai yang berlaku. Undang-undang partai di Tunis melarang berdirinya partai politik berdasarkan agama, sementara di Tunis terdapat sembilan partai politik yang dikepalai oleh Partai Tajammu Dusturi Demokrathi yang sekaligus partai pemerintah.

Menanggapi hal itu, ketua Harakah Nahdhah Islamiyah, Rashid Ganushi mengatakan bahwa memang organisasinya sejak didirikan tahun 1981 telah berupaya dengan berbagai cara damai untuk mendapatkan legitimasi dari aspek undang-undang Negara. Tapi upaya itu kandas dan selalu disikapi oleh pemerintah dengan penangkapan, tekanan, terror dan semacamnya. Semula ia gembira membaca laporan sejumlah media yang menyebutkan bahwa pemerintah tengah mempertimbangkan memberi izin kepada partai berorientasi agama Islam untuk memilih pemimpin versi mereka. Langkah serupa juga sudah diberikan kepada partai berasas nasionalisme dan liberalisme di Tunis.

Rashid Ganushi pimpinan Harakah Nahdhah Islamiyah, memang pernah dilarang selama berada di bawah kekuasaan Presiden Zainal Abidin Bin Ali. Tapi pada awal Ramadhan lalu, Ganushi sudah diizinkan untuk menyampaikan ceramah agama melalui radio Zaituna, yang diambil dari nama masjid terbesar di Tunis.

Saat ini, kaum Islamis berharap pemerintah memberikan mereka izin untuk turut dalam kancah politik dengan beragam upaya pendekatan kepada pemerintah. Tapi pernyataan Menteri Pengadilan dan HAM seolah menghapus harapan tersebut. Ungkapan itu berbeda dengan analisa sejumlah pengamat yangmemandang bahwa kelak pemerintah Tunis akan lebih bersikap akomodatif dengan sejumlah kelompok Islam, setelah sebelumnya mereka selalu menjadi sasaran sayap keamanan dan pengadilan Tunis.

Sejumlah indikasi dekatnya pemerintah dengan orientasi keIslaman sebenarnya sudah ada. Dimulai dari diizinkannya siaran radio pertama yang menyiarkan Al-Quranul karim, pembebasan sejumlah tokoh Harakah Nahdhah Islamiyah dari penjara, termasuk para tokohnya yang dihukum penjara seumur hidup.

Perlu diketahui, pemerintahan Tunis sejak awal tahun 90-an telah memenjarakan ratusan aktifis Harakah Nahdhah karena dituding melakukan perlawanan terhadap keamanan pemerintah. Sebagian tokoh Harakah lalu imigrasi ke Eropa dan hidup di sana sampai sekarang. Tapi sebagian lain mendekam di penjara, dan kini seluruhnya telah mendapat amnesty dari pemerintah Tunis. (lilinuraulia/iol)