HTI: “Kapal AS Terobos Perairan Natuna”

Rabu (30/5) ratusan massa Hizbut Tahrir Indonesia berunjuk rasa di depan Kedubes AS di Jl Merdeka Selatan Jakarta. Mereka mengecam masuknya kapal perang AS di perairan Natuna beberapa waktu lalu. Masuknya kapal perang ini dinilai sebagai bentuk intervensi nyata penjajahan AS di Indonesia karena terbukti tentara nasional Indonesia tak bereaksi atas kejadian tersebut.

Unjuk rasa ini diisi dengan orasi oleh antara lain Rochmat S Labib dan pembacaan pernyataan HTI oleh Farid Wadjdi.

PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA

“KAPAL AS TEROBOS PERAIRAN NATUNA”

Di tengah kesibukan pemerintah dan rakyat Indonesia menjelang Pilpres 2009, secara diam-diam kapal perang AS telah menerobos peraian sebelah utara Kabupaten Natuna, tepatnya di kawasan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), antara perairan Pulau Laut dan Pulau Subi, Selasa (23/06/2009). Enam kapal milik negara adidaya itu, salah satunya kapal induk, dengan merek lambung USS Ronald Reagen berlayar di dekat perairan Indonesia.

Untuk apa dan ke mana tujuan Kapal Induk yang ditemani satu unit Kapal tangker dan empat kapal jenis Destroyernya melintasi alur laut Indonesia masih dalam tanda tanya besar. Setelah diawasi oleh Pesawat pengintai TNI-AL jenis Cassa selama tiga jam, iring-iringan kapal perang USA ini pun menjauh ke arah Utara perairan Natuna.

Peristiwa ini baru mencuat, setelah Koran Jawa Pos Group mengangkat kasus tersebut pada hari Kamis, 25 Juni 2009. Sehari kemudian, Jum’at (26/06/2009), Mabes TNI baru mengeluarkan pernyataan resmi mengenai peristiwa tersebut, sebagaimana yang dimuat dalam situs resmi Depkominfo RI. Dalam pernyataan persnya, Mabes TNI Angkatan Laut membenarkan pesawat patroli maritim TNI AL U-621 telah mendekteksi enam kapal perang AS di perairan Natuna. Menurut Kadispenal Laksamana Pertama TNI Iskandar Sitompul dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (26/6), konvoi kapal perang AS itu saat melewati perairan ZEEI tidak melakukan pelanggaran karena berada di rezim freedom of navigation dan tidak perlu izin. Jika benar kapal-kapal tersebut tidak melanggar, mengapa harus digiring untuk menjauh ke arah utara perairan Natuna? Jika peristiwa ini merupakan peristiwa serius yang bisa mengancam wilayah Indonesia, mengapa baru tiga hari kemudian ada pernyataan resmi dari pihak terkait, itu pun setelah diangkat oleh media? Ataukah ada sesuatu yang lain?

Pada tanggal 24 Mei 2009 yang lalu, media massa telah memberitakan, bahwa USS Ronald Reagan dari Carrier Strike Group (CSG) 7 akan meninggalkan San Diego, 27 Mei 2009 untuk memulai penugasan rutin di wilayah Pasifik Bagian Barat. CSG 7 meliputi kapal induk bertenaga nuklir kelas Nimitz USS Ronald Reagan (CVN 76), berikut Carrier Air Wing (CAW) 14, kapal penjelajah USS Chancellorsville (CG 62), dan kapal komando, skuadron perusak (COMDESRON) 7 terdiri dari kapal perusak USS Decatur (DDG 73), USS Howard (DDG 83), USS Grindley (DDG 101) dan frigate USS Thach (FFG 43), serta satuan Explosive Ordnance Disposal Mobile Unit (EODMU) 11. Sedangkan CAW 14 terdiri dari Strike Fighter Squadron (VFA) 22 “Redcocks”, VFA 25 “Fist of the Fleet”, VFA-113 “Stingers”, VFA-115 “Eagles” dan Airborne Early Warning Squadron (VAW) 113 “Black Eagles”, Tactical Electronic Warfare Squadron (VAQ) 139 “Cougars”, Carriers Logistics Support (VRC) 30 Detachment 1 “Hustlers”, Helicopters Anti Submarine Squadron (HS) 2 “Black Knights”. Bagi AS, penugasan ke luar negeri adalah bagian dari politik luar negeri, yang tak lain adalah politik penjajahan, baik langsung maupun tidak. Inilah yang harus diwaspadai.

Berkenaan dengan hal ini, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

  1. Memperingatkan pemerintah AS untuk tidak mengobok-obok wilayah Indonesia, dan menggunakan justifikasi konvensi Hukum Laut Internasional untuk kepentingan penjajahan AS, khususnya terhadap Indonesia. Jika itu tetap dilakukan, maka prinsip mutual respect (saling menghormati) sebagaimana yang dipidatokan oleh Obama hanyalah slogan belaka.
  2. Peristiwa ini juga menunjukkan, bahwa apa yang sering digembar-gemborkan oleh para penguasa negeri ini mengenai komitmen mereka untuk menjaga keutuhan wilayah Indonesia itu nyatanya sangat rapuh. Jangankan untuk menghadapi kapal perang AS yang sangat canggih, menghentikan tindakan provokasi kapal Kepolisian Diraja Malaysia saja tidak bisa. Lalu di manakah tanggungjawab mereka dalam menjaga keutuhan wilayah negeri ini?
  3. Peristiwa penerobosan kapal-kapal perang asing ke wilayah Indonesia membuktikan, bahwa memang tidak mudah untuk menjaga wilayah yang demikian luas, terlebih dengan dana dan peralatan yang serba seadanya. Karena itu, diperlukan kekuatan, kemampuan dan sarana yang mencukupi untuk bisa melakukan hal itu. Kekuatan itu akan bisa diraih bila umat Islam bersatu sehingga seluruh potensi negeri-negeri Muslim bisa dioptimalkan untuk menjaga kedaulatan wilayah dari negeri-negeri Muslim itu. Di sinilah relevansi dari gagasan syariah dan Khilafah, karena hanya Khilafahlah yang akan bisa menyatukan dunia Islam, dan menjadi negara adidaya sehingga mampu melindungi setiap jengkal wilayah negeri Muslim, termasuk Indonesia, dari intervensi negara penjajah. Oleh karena itu, sesungguhnya Indonesia membutuhkan Khilafah.

Jakarta, 30 Juni 2009/7 Rajab 1409 H

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto