Dibalik “Kemenangan” Liberalis (5)

Kapitalisme Birokrat yang dalam bahasa seorang Yoshihara disebut “Ersatz-Capitalism”, bekerja layaknya sebuah mesin besar yang mengerahkan semua kemampuannya untuk menjaga status-quo. “Ali” dan “Baba” selalu mengadakan kolusi, bergotong-royong, saling menutupi, saling tahu diri, untuk dalam waktu bersamaan menipu rakyat dan merampok rakyat sekaligus. Bagi “Ali” dan “Baba” berlaku hukum tidak tertulis: “Sesama perampok rakyat dilarang saling merugikan.”

Untuk itu diciptakanlah berbagai istilah yang indah-indah agar rakyat terus-menerus tertipu, seperti “Stabilitas Nasional”, “Pesta Demokrasi”, “Pesta Rakyat”, dan berbagai angka statistik yang kian hari kian menunjukkan menunjukkan jika kehidupan rakyat membaik, walau dalam kenyataannya kian hari kian banyak rakyat yang gantung diri dan putus sekolah.

Salah satu contoh paling sederhana dan konyol adalah apa yang terjadi dalam kasus “Iklan Sesat” bertema Pendidikan Gratis. Dalam iklan yang disiarkan berulang-ulang di berbagai media nasional, tentu menguras dana APBN dari uang rakyat, Mendiknas ingin menekankan bahwa pendidikan di negeri ini sudah gratis sehingga semua anak bangsa bisa menyekolahkan anaknya tanpa harus pusing memikirkan biaya.

Namun pada kenyataannya, pendidikan gratis itu hanya ada di dalam iklan, sedang pada kenyataannya tidak gratis. Malah banyak orangtua yang menangis sedih karena anaknya lulus SMPTN dengan nilai tinggi namun tidak bisa memasukkan anaknya kuliah karena tidak punya uang berjuta-juta.

Di berbagai media teve, Mendiknas Bambang Sudibyo mengelak serangan yang mengatakan iklan departemennya sesat dengan berkilah, “Gratis di sini dalam definisi pemerintah, hanya SPP saja, bukan menurut definisi rakyat. Kalau menurut definisi rakyat, untuk makan saja rakyat ya maunya semuanya gratis!” Inilah jawaban dari seorang profesor.

Kita tentu hanya bisa mengurut dada mendengar jawaban yang sama sekali ngawur seperti itu. Kata pepatah, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, dan ternyata itu betul. “Iklan Ngawur” ternyata memang lahir dari pejabat yang juga nga**r!

Sistem Pendidikan Yang Apolitis

Jenderal Suharto dengan Mafia Berkeley-nya sudah berjasa besar mengembalikan Indonesia dari satu negara mandiri dan berdaulat, menjadi suatu negara-bangsa yang sangat tergantung pada blok imperialisme asing. Untuk mempertahankan status-quo ini, maka rezim Jenderal Harto menggunakan kekuatan militer dan intelektual yang berkhianat (The Betrayal Intellectual, isilah Julien Benda) untuk menindas rakyat dalam segala bidang kehidupan.

Selain menghegemoni bidang perekonomian, maka bidang yang sangat vital bagi “penjinakkan” rakyat adalah bidang pendidikan. Mereka merancang sistem pendidikan bukan untuk membuat rakyat Indonesia menjadi cerdas, kritis, dan pandai, namun untuk menciptakan manusia-manusia Indonesia yang apolitis yang siap menjual dirinya sebagai sekrup bagi mesin besar bernama industri.

Filsuf Bertrand Russel di dalam “The Functions of a Teacher” (Unpopular Essays, h.112-123) secara tajam dan keras mengkritik penyesatan fungsi mulia pendidikan dan seorang guru di dalam rezim yang korup dan tentu saja menindas.

Menurut Russel, ada cara paling sederhana dan jitu untuk melihat sejauhmana pemerintah sungguh-sungguh ingin mencerdaskan rakyatnya, yakni lihatlah kehidupan real seorang guru. Apakah pemerintah sudah menghargai guru hingga kehidupannya sejahtera, atau sebaliknya. Tingginya alokasi dana APBN untuk sektor pendidikan yang mencapai 20% sekarang sama sekali tidak menjamin sistem pendidikan di negara ini baik dan kehidupan guru akan lebih sejahtera. Dalam rezim korup, naiknya anggaran juga akan diikuti oleh naiknya angka korupsi yang dilakukan para birokratnya, naiknya mark-up anggaran, naiknya proyek fiktif, dan sebagainya sehingga yang sudah kaya akan kian kaya dan yang miskin kian miskin. Tingginya angka Disclaimer anggaran pemerintah oleh BPK baru-baru ini membuktikan hal itu.

Russel menulis, “Tiap guru di zamannya, yang diilhami oleh cita-cita luhur para pendahulunya, sekarang cenderung dikejutkan oleh kenyataan jika fungsinya bukan lagi untuk mengajarkan apa yang diyakininya, melainkan untuk menanamkan keyakinan-keyakinan serta kebodohan-kebodohan yang dipandang berguna oleh mereka yang memerintahkannya.”

Russel memberi contoh sistem pendidikan di Amerika, “Di sana terdapat mata pelajaran kewarganegaraan (Civics), dimana murid-murid diajari semacam pandangan palsu tentang bagaimana masalah masyarakat ditangani, dan secara seksama anak-anak ditutup-tutupi dari praktek-praktek yang sesungguhnya sedang berlangsung.” Di Indonesia, di zaman Harto pelajaran ini bernama PMP (Pendidikan Moral Pancasila), dan kini diberi nama PKN (Pendidikan Kewarganegaraan), esensinya sama.

Anak-anak diajari bagaimana caranya untuk melestarikan bumi dan tanah air, namun dalam kenyataannya negara sendiri yang melindungi pengrusakkan lingkungan seperti dalam kasus Freeport, Newmont, Lapindo, dan lainnya.

Anak-anak diajari untuk bersikap sopan santun terhadap orangtua, namun negara sendiri yang mengajarkan agar berbuat kurang ajar pada orangtua, salah satunya dalam kasus pengambil-paksaan Ustadz Ba’asyir dari RS PKU Muhammadiyah Solo beberapa tahun silam, bagaimana seorang ustadz yang sudah uzur dan sakit harus diseret untuk ditahan.

Anak-anak diajari agar hidup sederhana dan tidak boros, namun negara  sendiri yang mengkhianatinya denan salah satunya merestui anggaran 28 miliar rupiah untuk rumah dinas seorang wakil gubernur Jakarta, sedangkan harga satu rusunami hanya 9 miliar rupiah untuk 96 kepala keluarga; dan lain-lain. Sikap hipokrit ternyata telah diajarkan sendiri oleh negara sejak dini kepada anak-anak kita. Sikap munafik sudah diajarkan negara kepada generasi muda bangsa ini.

Francois Raillon dalam “Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974” (1985) menulis, “…bila rakyat diharuskan bermental Pancasila tetapi melihat dengan mata kepala sendiri bahwa justeru bapak-bapak yang diharapkan rakyat bermental demikian, di tengah-tengah kemiskian rakyat membangun rumah-rumah mentereng, berkeliaran dengan mobil-mobil mewah, memamerkan segala kekayaan kebendaan, tanpa menghiraukan keadaan rakyat di sekelilingnya yang berada dalam dunia neraka itu.. dalam zaman seperti sekarang ini, di mana bangsa Indonesia seakan-akan hidup di atas gunung berapi yang pada tiap saat daat meletus, maka mereka dengan sikap pamer itu ibarat tengah menandatangani hukuman matinya sendiri. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa di dunia ini ada semacam hukum karma.” (h.303-304).

“Kita berhadapan dengan kenyataan paradoksal bahwa pendidikan ternyata telah menjadi salah satu hambatan utama terhadap kecerdasan dan kebebasan pikiran. Ini disebabkan negara mengklaim memonopoli bidang pendidikan. Pendidikan dirancang bukan untuk memberikan pengetahuan sejati, namun lebih untuk membuat banyak orang mudah tunduk pada penguasa,” ujar Russel.

Sistem pendidikan seperti inilah yang telah berjalan di negeri ini sejak imperialis asing menguasai seluruh sumber daya dan kekayaan alam Indonesia, sehingga walau kian banyak anak bangsa kita meraih gelar sarjana, namun hasil dari kesarjanaan mereka ini ternyata tidak menghasilkan apa-apa bagi bangsanya. Seorang sarjana di negeri ini belumlah tentu seorang intelektual. Semuanya memang telah dirancang agar bangsa ini tetap dalam kebodohan dan kejahilannya terhadap realitas yang ada. Dalam tulisan berikut akan dipaparkan bagaimana sistem kapitalis semu menciptakan manipulasi akal budi manusia, sehingga menghilangkan sifat dasar manusia yang sesungguhnya bebas dan mandiri, menjadi semacam hewan yang mudah digiring ke sana kemari. (bersambung/ridyasmara)