Anies Baswedan: Bully Itu Keniscayaan, Prestasi Itu Pilihan

Anies perlu dikritik? Setuju. Terkait hal-hal yang kurang pas, Anies perlu diingatkan dan diberi masukan. Tentu harus menggunakan data ketika memberi masukan dan melakukan kritik. Sebaliknya, harus berani juga mengapresiasi prestasinya. Ini baru obyektif.

Bully? Akan selalu ada. Biasanya dilakukan oleh pertama, orang yang gak mau repot mikir dan cari data. Kedua, oleh mereka yang pernah kecewa. Pernah punya persoalan pribadi, atau calonnya kalah. Maka, bullian menjadi ekspresi kebencian. Pokonya gue benci. Apapun, gak cocok. Titik! Ketiga, dilakukan karena profesi. Mereka melakukannya karena dibayar. Ini namanya bully premium.

Dalam kamus bully, gula rasanya pahit. Madu rasa asam. Buta fakta, tuli data dan bisu kebenaran. Tapi, sejarah selalu menghadirkan orang-orang seperti ini. Tak perlu dikeluhkan, karena orang-orang macam ini adalah bagian dari takdir yang tak pernah hilang. Hadapi saja! Begitu kata Iwan Fals.

Siapapun yang jadi pejabat publik, apalagi gubernur, mesti siap dibully. Itu keniscayaan yang melekat bagi setiap pejabat publik. Gak siap dibully, jangan jadi pejabat.

Secara sosial, bullian adalah ruang yang memberi kesempatan bagi seseorang untuk menjadi lebih besar lagi. Tanpa bullian, berita jadi sepi. Makin banyak bullian, ruang publik makin terbuka untuk promosi.

Selain prestasi kerja, bullian ternyata telah memberi ruang bagi Anies untuk semakin mendapatkan promosi. Publik menunggu klarifikasi, media membuka diri, dan tak sedikit orang berbalik jadi pendukung setelah mereka mengerti. Tanpa rencana dan rekayasa, bullian seolah menyiapkan tangga bagi Anies untuk semakin memperbesar peluangnya menjadi presiden 2024. Dengan catatan, cucu A.R. Baswedan dan sepupu Novel Baswedan ini istiqamah dan mampu menjaga performanya seperti selama ini. (swa)

 

Jakarta, 13/12/2019

Penulis: Tony Rosyid (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)