Teroris Pembom Mall Alam Sutera Adalah Seorang Cina Katolik

Leopard-Wisnu-Kumala-610x359Eramuslim.com – Bomber Mall alam Sutera, Leopard Wisnu Kumala (29), meruntuhkan semua stigmaisasi selama ini jika seorang teroris haruslah orang Islam.

“Leopard seorang dari etnis Cina, beragama Katolik, pandai meracik bom dengan bahan peledak high explossive jenis Triaceton Triperoxide (TATP) kali pertama di Indonesia terjadi,” tegas Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, Jumat (30/10).

Harits merinci, Leopard melakukan empat kali pengeboman di Alam Sutera meski tidak semua meledak. Maka, ujarnya, teror menjadi cara untuk meraih kepentingan oportunisnya.

“Jika konsisten dengan nafsu untuk menarik kasus ini ke isu terorisme maka apa sulitnya untuk menyebut Leopard teroris? Saya pikir, istilah teroris lonewolf (serigala sendirian) adalah tepat,” terang Harits.

Ia pun berasumsi, sosok Leopard yang menganut Katolik membuat aparatur pemerintah dan pemilik media memilih diksi judul pada setiap berita steril dari diksi terorisme.

“Publik juga sudah cerdas. Inilah terorisme di Indonesia, sebuah bangunan terminologi yang memiliki dimensi sarat tendensi, stigma, kepentingan politis, dan ideologis di baliknya,” urai Harits.

Kasus pengeboman Mall Ala Sutera seakan merevisi segala teori tentang terorisme yang pakem serta identik dengan penyalahgunaan nama umat Islam.

“Media akhirnya seperti gagap untuk menata ulang opini, bahkan sebagian pengamat yang sebagian besar memegang pakem metode frameworkanalisis kultural juga kelu lidahnya. Bisa jadi, BNPT juga mules perutnya karena teori terorisme yang diusung selama ini tersandung di Alam Sutera,” tegas Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, Jumat (30/10).

Dalam isu terorisme, ia menilai bahwa rakyat Indonesia selama ini dalam sudut pandang yang tendensius dan stigmatis. Begitu mendengar teroris maka tergambar sosok pelakunya seorang Muslim, berjenggot, jidat hitam, celana cingkrang, keluarganya bercadar, memandang Barat (AS) sebagai musuh.

Walhasil, UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme pun diterapkan untuk menjerat hal-hal dengan identifikasi tadi.

“Jadi, terorisme akan selalu dimaknai sebagai produk radikalisme dalam agama Islam.Terorisme di Indonesia itu identik dengan Islam, ini secara simpel dikonstruksi oleh pihak pemerintah melalui aparaturnya dan diaminkan sebagian besar media,” cecar Harits.

Maka, ia pun kembali mengajak publik mencermati kembali definisi terorisme yang lekat dengan radikalisme Islam setelah kasus Leopard dan Mall Alam Sutera.

“Rakyat sekarang tahu, orang Kristen atau non-Muslim di Indonesia juga sama potensialnya bisa hadir di tengah masyarakat menjadi sosok-sosok teroris yang sangat berbahaya sekalipun terkesan ramah,” jelas Harits. (ts/ROL)