Dirut BPJS: Beli Rokok Bisa, Menyisihkan Rp5 Ribu Sehari Kok Susah

“Tidak ada jalan lain bahwa untuk menyelamatkan program ini, untuk menyelamatkan hidup teman-teman kita yang sakit seperti tadi, itu adalah dengan menyesuaikan iuran,” ungkap Fahmi saat menjadi pembicara dalam diskusi tentang tarif iuran BPJS Kesehatan, Senin (07/10).

BPJS Kesehatan menaksir defisit yang akan mereka tanggung hingga akhir tahun 2019 mencapai Rp32,8 triliun. Menurut mereka, angka itu akan semakin membengkak bila tidak ada penyesuaian tarif iuran.

Peserta mandiri `jelita` dan `jelata`

Hingga Senin (07/10), Presiden Joko Widodo belum mengeluarkan kebijakan apapun terkait penyesuaian jumlah iuran BPJS Kesehatan yang sudah dipaparkan kepada Komisi IX dan XI DPR akhir Agustus lalu. Pasalnya, pemerintah memilih untuk menaikkan tarif melalui Peraturan Presiden (Perpres).

“Tentu kita ingin apa yang jadi kesepakatan pengambil kebijakan, kemudian apa yang sudah dibicarakan, diusulkan, termasuk penyesuaian iuran, itu dapat kemudian terealisasi lebih awal,” kata Dirut BPJS Kesehatan, Fahmi Idris.

Selain masalah iuran yang tidak sesuai hitungan aktuaria, Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo menyatakan bahwa Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) alias mereka yang membayar iuran secara mandiri, yang berjumlah sekitar 32 juta orang merupakan dalang defisitnya BPJS Kesehatan.

“PBPU (sejumlah) 32 juta itu ada dua (jenis), yang jelita maupun yang jelata,” ujarnya, saat sama-sama mengisi acara diskusi tersebut.

Yang dimaksud dengan PBPU jelata merupakan peserta mandiri yang memenuhi kriteria miskin atau hampir miskin yang karenanya bisa dipindahkan ke dalam kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Sementara PBPU jelita adalah peserta mandiri yang masih dikategorikan mampu namun menunggak iuran, sementara tetap memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan melalui kepesertaan mereka.