Imam Besar New York: Radikalisme Politik dan Ekonomi Juga Ada

Radikalisme, menurutnya, adalah sebuah pandangan (ideologi) dan karakter (perilaku) hidup yang cenderung melewati batas-batas (huduud) normal dan hukum. Dengan kata lain, keberadaannya selalu ingin lebih, dan yang lain terlihat kurang. Pandangan ini berlaku di seluruh kehidupan manusia.

Maka, lanjut dia, tidak tepat jika hanya dialamatkan pada agama tertentu saja.

“Maka radikalisme bisa dalam bentuk cara pandang ekonomi. Ketika sistim ekonomi melampaui batas-batas kebutuhan pribadi atau publik, dan cenderung saling mengorbankan, itulah radikalisme dalam perekonomian. Maka baik kapitalisme maupun sosialisme adalah dua bentuk radikalisme dalam perekonomian,” jelasnya.

Dalam sudut pandang politik, lanjut dia, radikalisme juga bisa muncul. Yakni munculnya pemahaman bahwa paham politik yang dia pegang adalah yang paling benar. Maka radikalisme di situ muncul.

“Ketika sebuah cara pandang dan prilaku politik menjadi tuhan dan suci, dengan melihat pandangan dan pilihan politik lain salah bahkan ancaman itu adalah radikalisme dalam perpolitikan. Dukungan buta atau kebencian tiada batas dalam dukungan politik merupakan bentuk radikalisme politik itu sendiri,” lanjutnya.

Dalam agama, radikalisme memang bisa muncul. Tapi menurutnya, bukan pada agamanya, tetapi pada sudut pandang seseorang memaknai agama yang ia anut.

Pandangan yang merendahkan bahkan cenderung menihilkan orang lain. Akibatnya, kata Shamsi Ali, permusuhan dan perpecahan rentang terjadi dalam masyarakat.

“Agama itu absolut. Tapi pandangan atau tepatnya tafsiran keagamaan bersifat manusiawi. Dan karenanya tidak absolut. Oleh karena itu Ketika seseorang merasa paling benar dan yang lain kurang maka pandangannya telah terasuki radikalisme,” katanya.

Menurutnya, persoalan terbesar dalam melihat isu-isu negatif kemasyarakatan ini adalah ketika ada kepentingan politik yang terlibat. Dia khawatir, dalam persoalan nasional, munculnya isu radikalisme lantaran kepentingan politik tertentu.

Bagi dia, jika hal itu benar maka ini sangat berbahaya. Karena pertimbangannya bukan dari persoalan bangsa dan negara, tetapi pada kepentingan politik golongan tertentu.

“Dan yang lebih berbahaya tentunya adalah pelemparan isu radikalisme yang mengarah kepada kelompok agama tertentu justru akan semakin mempertajam friksi sosial atau perpecahan masyarakat. Bahkan tendensi intoleransi akan semakin menjadi-jadi. Karena sebagian merasa dirangkul. Sebagian lain merasa ditinggalkan,” jelasnya.

“Dan, jika itu terjadi, maka itulah sesungguhnya kagagalan murakkab (berlapis)!dalam mengelolah kehidupan berbangsa. Semoga tidak!,” tutur Shamsi Ali. (vn)