Jakarta Hadapi Ancaman ‘Day Zero’, Apa Itu?

Kondisi saat ini dari segi pemanfaatannya, menurut Lubis, tidak seimbang karena hanya air tanah yang digunakan secara besar-besaran. Air tanah hanya mewakili sekitar empat persen dari sumber air yang ada di Jakarta. Sementara air hasil pengolahan lebih banyak ‘impor’ dari Waduk Jatiluhur di Purwakarta, Jawa Barat.

Berdasarkan data neraca air DKI Jakarta 2030 yang ia presentasikan disebutkan potensi ketersediaan air permukaan statis mencapai 33.479.000 meter kubik (m3), air permukaan dinamis mencapai 389.455.000 m3, air hujan andalan mencapai 891.330.000 m3, air tanah dangkal mencapai 36.170.000 m3, air tanah dalam mencapai 75.780.000 m3 dan air hasil pengolahan air bekas mencapai 914.702.000 m3.

Total perkiraan persediaan air DKI Jakarta di 2030 mencapai 2.340.916.000 m3 dengan perkiraan kebutuhan air mencapai 1.280.770.000 m3. Sementara proyeksi peningkatan ketahanan air dan faktor pencapaian target pada 2030 akan mencapai 82,34 persen dengan faktor penentu pencapaian target berupa pengembangan sistem pengolahan air bekas perkotaan (reclame used water), giant sea wall, desalinasi air laut, penurunan tingkat kebocoran, serta jaringan distribusi Perusahaan Air Minum (PAM).

Untuk memastikan ‘day zero’ tidak terjadi di Jakarta maka, menurut Lubis, kombinasi faktor penentu pencapaian target di atas harus kerjakan. Kalau pun giant sea wall gagal dibangun maka kombinasi faktor penentu yang tersisa yang harus dikerjakan dengan memanfaatkan teknologi dari berbagai hasil penelitian yang ada.

“Maka kuncinya manfaatkan sumber daya air yang ada, gunakan yang disediakan alam sekitar. Karena baru air tanah saja yang sekarang digunakan, sumber lain tidak digunakan,” lanjutnya. (antara)