Jangan Berkompromi Menenggelamkan Prosedur Pilpres

Penentang Manipol Usdek, sekadar sebagai ilustrasi menemukan dirinya terkucil, dianggap suka cari gara-gara, tak sudi melihat Indonesia maju dengan panduan demokrasi terpimpin. Pembatasan kebebasan berserikat yang dituangkan dalam Penetapatan Presiden (Penpres), bentuk hukum baru yang tak punya pijakan dalam konstitusi pada masa itu, memukul telak Masyumi. Penpres itu juga dipakai memukul Liga Demokrasi.

Pembubaran Masyumi misalnya dibenarkan ilmuan dengan argumentasi sumir, mengada-ada dengan menujuk mantan ketua umumnya terlibat PRRI. Argumentasi ini lahir dari rumah agung hukum yang tongkat ajaibnya dipegang ilmuan hukum. Belakangan setelah demokrasi terpimpin tumbang, dan naiknya orde baru sang ilmuan meralat argumentasinya.

Panduan Keyakinan 

Dalam seminar “ketatanegaraan UUD 1945” yang diselenggarakan Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI) UI tanggal 22 April 1966, Profesor (Alm) Ismail Suny, promotor saya, semoga Allah Ta’ala merahmatinya sebagai salah satu pembicaranya. Pak Suny berbicara negara hukum dan hak asasi manusia. Nada Pak Suny dalam seminar itu cukup kritis, sehingga Tafsir seperti diakui sendiri oleh Pak Suny “seminar ketatanegaraan ini telah didramatisir Tasrif, SH sebagai muncul kembali suara sejati dari kalangan rakyat Indonesia, khususnya kaum intelektual Indonesia.

Ditandaskan selanjutnya “Untuk meminjam kata-kata Julian Benda dalam bukunya yang termashur La Trahison des Clercs (Penghianatan Kaum Intelektual) kaum intelektual Indonesia selama bertahun-tahun telah “berhianat” terhadap Tuhan, terhadap hati nuraninya sendiri, terhadap nusa, bangsa dan agama, karena mereka telah menutup mata, menutup telinga dan menutup mulut untuk segala penyelewengan yang telah terjadi. Sedangkan merekalah sebenarnya yang demi ilmu pengetahuannya bertanggung jawab moral pertama untuk menantang semua yang batil (Lihat Ismail Suny, Mencari Keadilan, 1982, hl 93).

Suny adalah Suny, tak kurang dan tak lebih. Tidak akrab dengan Bung Karno, mendukung Pak Harto dengan Orbanya, tetapi hebat, Suny tak  kehilangan kesejatiannya sebagai ilmuan dan hamba Allah. Orba yang turut dikonsolidasi dasar-dasar konstitusionalisnya dengan cara menjadi anggota DPR dan juru bicara Fraksi Pembangunan Demokratis, tetap dikritik.

Dalam satu panel diskusi bertema “Demokrasi dan Prospeknya di Indonesia” Pak Suny lantang menyatakan ketidaksetujuannya atas rencana Orde Baru, orde UUD 1945 secara murni dan konsekuen menyederhanakan jumlah partai politik. Pak Suny menolak gagasan ini. Ujungnya?