Jangan Berkompromi Menenggelamkan Prosedur Pilpres

Dipadu dengan desas-desus pernyataan Pak Suny pada satu majalah di luar negeri, Pak Suny dikenakan tahanan negara, dihambat kepergiannya ke luar negeri oleh Bakin. Tetapi setelah jumpa Kepala Bakin Pak Yoga Sugama, Pak Suny dibebaskan dan boleh bepergian keluar negeri. Begitulah Pak Suny selalu kritis pada kekuasaan yang ia sendiri turut membidani kelahirannya.

Ada Pak Suny ada juga (Alm) Bang Buyung, Ko-Promotor Saya, semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmatinya dalam keabadian. Bang Buyung harus diakui terlalu sulit untuk tak diakui daya kritisnya kepada orde baru yang turut disokongnya itu. Seperti Pak Suny, Bang Buyung, karena kritiknya yang tajam atas kebijakan politik Orba mengalami nasib buruk, harus berada di penjara untuk waktu tertentu. Ikut mendirikan Orba, tetapi tidak menelan mentah-mentah semua yang Orba lakukan. Itulah mereka, hebat.

Mereka intelektual yang tidak membebek. Ilmu dan keyakinan membawa mereka mengerti kemana kebijakan yang dikritikitu meredupkan sisi-sisi hebat republik. Keyakinan tentang demokrasi berlandaskan hak asasi manusia, mereka pastikan hanya bisa bernapas manis bila negara hukum demokratis eksis. Daya cium moral mereka membantu mereka meraba akhir yang buruk dari tindakan pemerintah dimasa yang akan datang.

Cukup sering mereka dicibir para penjilat pembangunan, tetapi suka atau tidak mereka benar dalam jalannya sejarah. Tersingkirkannya Orla dan Orba membuktikan kebenaran kritik mereka. Hebat, sebagian yang mereka impikan  diterima dan dilembagakan dalam UUD 1945  setelah  Orba menemukan akhir yang pahit dan pilu.

Anehnya nada kompromi menggema setelah penetapan hasil pemilu presiden dan wakil presiden kali ini. Nada ini dilantunkan dengan kalimat-kalimat manis dan bijak, sebijak nada kompromi tahun 1930-an terhadap kolonialis Belanda, dengan segala akibat pahitnya. Akankah nada kompromi itu menggoda MK, membawa mereka membentuk keadilan bercitarasa angka? Semoga tidak.

Keadilan memang berurusan dengan teks hukum. Tetapi teks tidak bisa dikenali semata sebagai teks. Teks hukum adalah cerminan jiwa pembentuknya, refleksi hasrat pembentuknya akan hari esok yang hebat. Hasrat dalam teks mewakili konteks. Teks dan konteks, karena itu memiliki  pertalian fungsional.

Bagaimana mengenali konteks teks? Ilmu hukum menyodorkan tafsir sebagai sarana mengenalinya. Ilmu hukum juga mengajarkan kaidah tafsir. Tetapi diatas itu semua “hikmah” menjadi tuntunan terbaik mengenal konteks, menghidupkan jiwa, mempertajam kepekaan, memperluas wawasan meramu keadilan. Konteks bisa berubah bentuk, tetapi sifatnya statis. Cara mencurangi bisa berbeda dulu dan kini, tetapi sifatnya tetap saja curang. Tidak lebih. Itulah jalan terbaik mengenal medan –konteks- pemilu dan meramu keadilan.

Keadilan pemilu bukan soal angka akhir, tetapi soal kejujuran memperoleh angka itu. Kejujuran memperoleh angka ditentukan oleh kepatuhan pada prosedur, tata cara atau mekanisme. Kepatuhan pada prosedur ditentukan oleh kebersihan jiwa. Titik. Tidak ada cara lain selain itu. []

Penulis: Dr. Margarito Kamis, Pakar Hukum Tata Negara