Jokowi Diminta Buka Laporan Penggunaan Anggaran Rp 700 Triliun untuk Covid, Berani?

Pengawasan masyarakat menjadi sangat penting mengingat situasi kedaruratan, krisis, dan kebutuhan untuk merespon dengan cepat berbagai masalah yang timbul karena pandemi sangat rentan terjadi penyalahgunaan wewenang dan korupsi.

“Pengawasan masyarakat bisa berjalan dengan efektif apabila hak atas informasi publik dijamin oleh Pemerintah,” bunyi tersebut yang dikutip dari pernyataan tertulis Koalisi Masyarakat Sipil.

Koalisi menilai bahwa jajaran Pemerintah dan aparatnya belum menerapkan prinsip keterbukaan sebagaimana yang telah dimandatkan dalam UU No 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Demikian pula, beberapa UU yang telah disahkan oleh Pemerintah mengamanatkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintah, seperti UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik maupun UU No 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Berbagai kendala yang hadapi Koalisi di lapangan dalam melakukan fungsi pengawasan sosial adalah minimnya akses informasi terkait dengan besaran alokasi anggaran yang telah diterima oleh institusi pemerintah. Kemudian nilai belanja yang telah dikeluarkan, jenis-jenis belanja yang sudah dilakukan, nilai anggaran untuk masing-masing belanja tersebut, jumlah distribusi barang yang telah dilakukan, lokasi pendistribusian barang, maupun informasi yang rinci atas penerima manfaat program, baik di sektor sosial (bantuan sosial), kesehatan (insentif untuk tenaga kesehatan) maupun program pemulihan ekonomi nasional.

“Kami mendesak Presiden agar memberikan perintah dan arahan kepada jajaran aparatur Pemerintah, baik di pusat maupun di daerah untuk menyediakan berbagai jenis informasi tersebut tanpa harus diminta secara khusus oleh masyarakat,” tulisnya.

Penyampaian informasinya pun dilakukan dengan cara yang mudah dijangkau oleh masyarakat sesuai dengan amanat Pasal 10 ayat (2) UU 14 tahun 2008.

Mengingat proses penanganan pandemi Covid-19 sudah berjalan hampir lima bulan, semestinya jajaran birokrasi dan pimpinan lembaga pemerintah sudah dapat beradaptasi dengan situasi baru sehingga tidak terus-menerus menggunakan alasan krisis dan kedaruratan untuk menutup diri.

Kendati demikian, penanganan pandemi dan dampaknya adalah sesuatu yang harus diprioritaskan dan ditangani dengan cepat dan tepat.

Namun apabila prosesnya dilakukan secara tertutup, hal itu membuka peluang terjadinya korupsi dan justru akan mengancam keberhasilan penanganan virus corona dan dampaknya.

Surat desakan itu ditembuskan kepada Kepala Kantor Staf Presiden Republik Indonesia (KSP), Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP), Komisioner Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian Sekretariat Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dan Kantor Sekretariat Open Government Initiative (OGI). (*)