Kapolri Bantah Larang Demo Saat Pelantikan Jokowi

Jika lima hal itu dilanggar, lanjut Tito, Kepolisian bakal membubarkan unjuk rasa sebagaimana ketentuan dalam pasal 15 UU No.9 tahun 1998. Bahkan, ia menyatakan Kepolisian bisa mengenakan pidana terhadap pengunjuk rasa yang memberikan perlawanan perlawanan ketika dibubarkan.

“Jadi, misalnya dari petugas minta agar saudara-saudara membubarkan diri, tiga kali diperingatkan tidak bubar, itu sudah pelanggaran pasal 218 KUHP. Meskipun ringan ancaman hukumannya, tapi tetap itu ada proses hukumnya,” ujarnya.

Tito menyampaikan pedemo akan dipidana jika memberikan perlawanan dan mengakibatkan korban dari petugas ketika pembubaran dilakukan.

“Satu orang, kemudian lebih dari dua orang, kemudian bersama-sama itu ada ancaman hukumannya lagi,” ujar Tito.

Kata Tito, pelantikan presiden-wakil presiden merupakan acara kenegaraan yang diatur dalam konstitusi. Seluruh tahapan dari Pilpres 2019 hingga Jokowi-Ma’ruf dilantik sudah sesuai dengan konstitusi, yakni melalui pemilu hingga Mahkamah Konstitusi.

Oleh karena itu, ia berkata proses dan tahapan yang masih berjalan harus dikawal agar tidak keutuhan negara.

“Tinggal acara pelantikan, sehingga apapun juga sebagai aparat negara, TNI-Polri pasti akan mengamankan itu, karena ini adalah amanat konstitusi,” ujarnya.

Selain kepentingan dalam negeri, Tito merasa pengamanan pelantikan presiden-wakil presiden juga berkaitan dengan citra Indonesia di mata dunia internasional. Terlebih, acara pelantikan juga akan dihadiri tamu-tamu perwakilan dari negara lain.

Tito mengaku tidak ingin menanggung risiko. Dia ingin pelantikan presiden-wakil presiden berjalan lancar demi nama baik Indonesia di mata internasional

“Kita juga memikirkan bangsa kita juga harus dihargai dan harus dipandang sebagai bangsa yang besar, bangsa yang tertib, dan damai. Bukan bangsa yang kacau, rusuh seperti di Afghanistan, Suriah, dan lain-lain,” ujar Tito.

 

Imbau Tak Gelar Aksi

Tito meminta masyarakat tidak melakukan mobilisasi massa saat pelantikan presiden-wakil presiden berlangsung. Sebab, menurutnya, mobilisasi massa memiliki potensi tindakan anarki.

“Meskipun tidak ada istilah perizinan, maka yang pertama kami ingin memberikan imbauan kepada masyarakat untuk sebaiknya tidak melakukan mobilisasi massa,” ujar Tito.

Tito membeberkan pengalaman mengamankan demo massa, misalnya saat demo mahasiswa di kawasan Gedung DPR/MPR, Jakarta. Ia berkata demo itu berakhir rusuh dan anarki meski awalnya berlangsung damai. Ia bekata demo itu mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak.

“Kalau demonya aman-aman saja kami no problem, tapi ini demonya belakangan kami melihat, mohon maaf ada yang idealisme, ada juga pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan ini untuk kepentingan tersendiri,” ujarnya.

Terkait dengan hal itu, Tito kembali menegaskan pihaknya tidak ingin kembali kecolongan. Demi bangsa dan negara, ia mengklaim pihaknya akan melakukan langkah preventif dan penegakan hukum terhadap pihak yang mengacaukan pelantikan presiden dan wapres lewat unjuk rasa.

“Kalau kami dari intelijen sudah memahami bahwa akan terjadi potensi aksi anarkis, ya masa didiamkan, masa kita reaktif baru menindak, salah lagi,” ujar Tito.

“Oleh karena itu, kami menggunakan diskresi, selain mengimbau, juga tidak menerbitkan surat tanda terima pemberitahuan (STTP) pada saat ada unjuk rasa,” lanjutnya.

Lebih dari itu, Tito menegaskan pihaknya mengikuti arahan Presiden Jokowi untuk tidak melarang jika unjuk rasa yang dilaksanakan diprediksi berjalan aman, damai, dan tertib. Namun, jika ada potensi tidak aman, polisi langsung membubarkan unjuk rasa.

“Kami lihat ini akan potensinya tidak aman, kami tidak akan terbitkan. Sehingga bila tetap dilakukan kami akan bubarkan dulu sebelum dia berubah dari crowd menjadi anarkis,” ujarnya. [cnn]