Kesucian Ramadhan dan Detik-detik Pangeran Diponegoro Ditangkap Belanda saat Lebaran

Menurut kesaksian Diponegoro, tiga pertemuan ini berlangsung dalam suasana menyenangkan dan santai, dengan kedua¬nya bertukar canda dan merasa senang bertemu.

Bahwa keduanya masih berkabung atas kematian istri masing-masing yang sangat mereka kasihi serta yang meninggal dalam waktu yang terpaut satu tahun antara November 1827 dan November 1828, tampak telah membuat mereka merasa istimewa dekatnya.

Setelah pertemuan itu, Diponegoro dan pengikutnya berkemah di Matesih, sebuah daerah di tepi Kali Progo. Di mana perwira bernama Mayor Francois Victor Henri Antoine Ridder de Steur, yang tak lain mantu de Kock, melukis perkemahan tersebut.

Carey mencatat, Belanda nyatanya tak semurah hati itu. Residen Yogyakarta Frans Gerhardus Valck menempatkan Tumenggung Mangunkusumo dalam rombongan Diponegoro sebagai mata-mata.

Sementara hubungan baik ini sedang terbentuk, De Kock menjadi sadar bahwa Diponegoro tidak akan pernah menyerahkan diri tanpa syarat kepada gubernemen. Perlakuan De Kock yang manis ternyata bermuatan politis.

Dia membiarkan Diponegoro menikmati jaminan keamanan semu, sembari berharap sang pangeran menyerah tanpa syarat.

“Motif dan cara tidak terhormat seperti ini tentu tidak dikatakan secara terbuka, namun dalam pandangan De Kock, apa boleh buat, tujuan menghalalkan segala cara,” tulis Peter Carey di buku Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855).

Namun, sikap manis De Kock selama bulan puasa tak dapat meruntuhkan pendirian Diponegoro.