Ketidakadilan Ekonomi Itu Wajah Lain Dari Terorisme

Berbagai studi menyebutkan, melalui media sosial, emosi dapat terungkapkan jauh lebih ekspresif. Mudah tersebarkan. Sekali kirim pesan yang banyak, dalam sekejap penerimanya juga banyak. Pola komunikasi di ruang digital semakin memantapkan tekad jihad. Timbunan lumpur kemarahan dan kekecewaan mudah terhubung sesama individu frustrasi yang merasa senasib kelam!

Ruang digital meminimalisir penggerebekan aparat atau pengintaian intelijen. Dunia digital yang lagi ngetren menjadi bursa pemasaran ide radikalisme di lingkaran generasi milenial. Khususnya yang merasa hilang bentuk. Terpapar kondisi ketidak-pastian hidup keluarga mereka yang serba kekurangan, baik dari segi materi maupun minimnya peluang ke akses pendidikan.

Masa depan yang suram sebagai insan tidak berkecukupan di hampir semua bidang. Kondisi ini ikut menggiring generasi milenial memilih jalan radikal. Sebagai bentuk perlawanan atas tekanan yang diyakininya bersumber dari ketidak adilan negara atas distribusi hak-hak dasar mereka yang diamanatkan konstitusi. Eksibisi spektakuler keserakahan materi digelar terbuka pemilik modal besar. Menampilkan komposisi kehidupan nyata yang timpang dan menyakitkan.

Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dalam laporannya menyebutkan 1% orang kaya di Indonesia menguasai 50% aset nasional. Separuh dari aset nasional hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya di Indonesia. TNP2K memberi laporan akhir capaian kinerja mereka di Istana Wakil Presiden Rabu, (9/10/19. “Itu yang perlu dikoreksi,”. kata Bambang Widianto,Sekretaris Eksekutif TNP2K

Fenomena aksi terorisme belakangan ini di Indonesia menampilkan kemasan baru. Hadirnya generasi milenial perempuan muda menjadi aktor utama. Keperkasaan kaum feminine muda itu menggeser perlahan peran klasik teroris maskulin. Ketimpangan kondisi sosial ekonomi keluarga, dan deritanya lebih memukul kaum perempuan. Posisinya yang lebih banyak di rumah menjadi saksi hidup dan bagian tak terpisahkan penderitaan panjang yang mendera keluarga mereka secara ekonomi maupun sosial.

Menurut sebuah riset pada 2020, pelaku teroris adalah generasi milenial, yang mendominasi lebih dari sepertiga populasi Indonesia. Generasi milenial Indonesia memiliki karakteristik antara lain kecanduan terhadap internet, memiliki loyalitas rendah, cuek dengan politik, mudah beradaptasi, dan suka berbagi. Kecanduan internet dan rendahnya loyalitas menjadi celah masuknya ideologi-ideologi tertentu, termasuk terorisme.

Dalam psikologi, loyalitas merupakan kebutuhan individu untuk dapat meletakkan kesetiaan mereka terhadap sesuatu atau seseorang. Loyalitas terbentuk di usia 12-19 tahun, yaitu periode pembentukan identitas. Unit pertama yang berperan sebagai agen sosialisasi, keluarga memiliki peran menumbuhkan loyalitas tersebut melalui transmisi nilai-nilai yang diyakini. Jika keluarga gagal menumbuhkan loyalitas, anak-anak akan mencarinya melalui organisasi atau figur-figur karismatik di luar keluarga.

Peneliti Hukum dan Ham LP3ES sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Milda Istiqomah mengatakan, ada peningkatan tren aksi teror yang melibatkan perempuan dalam beberapa tahun terakhir. Perlu langkah untuk mengetahui alasan di balik keputusan perempuan-perempuan tersebut bergabung dalam aksi terorisme.