Kisah Toru, Pria Jepang di Bali Jadi Mualaf, Tunggu 12 Tahun Naik Haji

Kisah Toru, Pria Jepang di Bali Jadi Mualaf, Tunggu 12 Tahun Naik Haji

Eramuslim.com – Kisah cinta WN Jepang bernama Toru Tokoi (73) bak film romantis. Demi cinta, Toru rela menjadi mualaf dan naik haji bersama pujaan hatinya yang berasal Indonesia, Sasi Kurniawati (56).

“Nama saya Toru, sudah 28 tahun tinggal di Bali, lahir pada tanggal 25 Desember 1949 bagi umat Kristen Hari Natal merayakan kelahiran Yesus,” kata Toru tersenyum bangga membuka perbincangan tentang persiapan naik haji kepada kumparan, Rabu (7/6).

Toru berangkat naik haji bersama istri pada Kamis (8/6) malam lalu. Rasa haru sekaligus bahagia terpapar dari wajah pasutri ini. Mereka beribadah setelah ditunda dua tahun akibat pandemi COVID-19 atau mengantre selama 11 tahun.

Keterbatasan dalam bahasa, budaya dan agama sejatinya tak membuat Toru menyerah mencintai Sasi dan kepercayaannya. Toru rajin belajar agama Islam, membaca Alquran terjemahan bahasa Jepang, salat berjemaah dari tahun ke tahun, dan kini melaksanakan rukun Islam kelima, yaitu naik haji.

Toru juga tidak pernah absen latihan manasik agar dapat membedakan umrah dan haji serta mengetahui rangkaian ibadah haji.

Toru juga belajar menggunakan pakaian Ihram seperti dua helai kain yang tidak terjahit, satu diselendangkan di bahu dan satu disarungkan menutupi pusar sampai dengan lutut untuk persiapan naik haji.

Dia pun semakin percaya diri, sebab sudah pernah belajar manasik tahun 2020 lalu, sebelum pemerintah memutuskan menunda jadwal keberangkatan naik haji imbas virus corona.

“Allaahu Akbar, Bismillahirohmanirohim,” kata Toru dengan suara merdu menunjukkan keseriusannya tentang Islam.

Keseriusan Toru ini juga ditunjukkan lewat fisik. Toru dan istri tiga kali seminggu jogging demi menjaga kebugaran tubuh. Kesehatan ini juga didukung dengan hobinya bermain tenis dan berkebun bunga, buah dan sayur dengan berbagai jenis.

Toru dan Sasi lebih sering mengonsumsi makanan sehat yang dipanen sendiri. Kebun seluas sekitar 5o meter persegi itu terletak di belakang rumahnya di Jalan Jaya Giri, Kota Denpasar, Bali.

“Persiapan spesialnya lampu untuk membaca, lampu duduk. Kalau saya sebelum tidur harus membaca buku sampai ngantuk kalau tidak membaca buku tidak bisa tidur, sama kabel yang panjang,” kata Toru.

 

Berawal dari Perangko

Kisah cinta Toru dan Sasi sejatinya bermula dari perangko. Toru berlibur selama satu bulan di Bali tahun 1994. Kala itu dia menginap di sebuah hotel tempat Sasi bekerja sebagai penerima tamu.

Toru aktif berkirim surat dengan sahabat dan rekan kerjanya di Jepang selama di Bali. Sasi yang hobi mengumpulkan perangko tertarik pada setiap perangko bergambar sakura Jepang dalam amplop yang ditujukan pada Toru.

Pada tahun itu, Toru berusia 45 tahun dan Sasi 27 tahun. Sayangnya, mereka tidak pernah berkesempatan bertemu secara tatap muka. Jadi, saat Turo meninggalkan hotel, Sasi belum mulai bekerja. Sedangkan saat Sasi selesai bekerja, Toru malah belum pulang ke hotelnya.

“Kan perangko dari Jepang itu cantik-cantik bunganya jadi saya sering minta tapi mintanya enggak langsung sama beliau tapi lewat teman karena kami belum pernah ketemu,” cerita Sasi.

Toru selalu berbaik hati dengan menitipkan perangko untuk Sasi di meja penerima tamu. Gelagat Sasi ini ternyata membuat Toru penasaran.

Suatu waktu, Toru nekat memberikan perangko itu tanpa perantara kepada Sasi. Pertemuan itu menumbuhkan cinta pada pandangan pertama pada keduanya.

“Dari sana dah suami saya jatuh hati begitu,” kata Sasi sambil senyum tersipu malu mengenang pertemuannya dengan Toru.

Mereka menikah setelah enam bulan pacaran. Toru yang dulunya beragama Budha bersedia menjadi mualaf dan lebih dulu belajar Islam sebelum mengucapkan kalimat syahadat.

Toru yang memiliki dua usaha tempat les privat bahasa Jepang, Inggris dan pelajaran matematika di negara asalnya memutuskan pensiun dini. Dia ingin fokus hidup bersama istri dan anak sematawayangnya di Denpasar.

Pasutri ini menjalani rumah tangga dengan memperbanyak kegiatan olahraga, berkebun, berkumpul bersama tetangga, berjemaah dan membesarkan putranya dengan penuh cinta kasih.

Meski begitu, Toru tetap aktif berkirim surat namun melalui email kepada rekan dan keluarganya di Jepang tentang kegiatan sehari-hari di Pulau Dewata. Toru juga menghabiskan 14 buku bacaan tema misteri setiap bulan.

Hingga pada tahun 2012, Sasi memberanikan diri mengajak Toru naik haji. Sasi menyakinkan Toru untuk ‘membunuh’ bayang-bayang rasa takut beribadah sendirian selama naik haji.

Rasa takut ini datang dari keterbatasan Toru berbahasa Indonesia dan kemungkinan ada kesalahan saat mengikuti ibadah naik haji. Sasi berjanji menuntun Toru mulai persiapan hingga puncak ibadah naik haji.

“Tahun 2012 saya bicara sama suami bagaimana kalau kita naik haji begitu. Tadinya suami takut dan dia bilang,”enggak ah saya enggak bisa,” tapi saya menyakinkan,”enggak nanti sama saya (tidak sendirian),” Kata Sasi membujuk Taro.

Sasi begitu bahagia dan menangis saat suaminya itu bersediapergi haji. Sasi mengirimkan sebuah potret sebelum berangkat haji pada Jumat (9/6) kepada kumparan.

“Perasaannya gimana ya, senang juga yah pasti senang sudah mau berangkat mudah-mudahan diberi kesehatan dan kelancaran itu aja yang kita perlukan menjelang berangkat, terharu juga rasanya ya (saya) menangis,” kata Sasi menutup perbincangan kala itu.

Sumber: kumparan

Beri Komentar