Menag Fachrul Ungkap Masyarakat Berselancar di Medsos Kecanduan Konten Agama

Temuan itu, kata Fachrul, didapatkannya dalam laporan berjudul ‘Essential Inside Into Internet, Social Media, Mobile, and E-Commerence Use Around the Wolrd’ yang diterbitkan 30 Januari 2018 oleh Hootsuite dan We Are Social.

Laporan itu menyampaikan bahwa ada 126 juta para pengguna internet yang menggunakan smartphone untuk berselancar di media sosial.

Data tersebut, kemudian dikuatkan pada laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebut indeks diseminasi media sosial diperoleh angka sebesar 39,89 persen. Jumlah itu terbilang tinggi, lantaran pencarian tentang agama banyak dicari seperti keberadaan Tuhan, sifat-sifat Tuhan, kuasa Tuhan dan kisah hidup orang-orang suci.

“Ketika dahaga keagamaan mereka tidak terpenuhi, mereka mencari otoritas yang lain, yang diperoleh secara online. Yang kemudian terjadi, mereka menjadi mandiri dan tidak fokus dengan otoritas keagamaan tradisional tertentu, tetapi juga otoritas keagamaan yang lain secara global atau transnasional,” tuturnya.

Yang menarik, kata Fachrul, dulu masyarakat percaya dan berkonsultasi untuk memperdalam sisi spritualitasnya dengan bertemu pemuka agama secara konvensional atau lembaga keagamaan. Berbeda dengan kini, tren telah berubah kekuatan media sosial memberikan ruang terhadap tafsir-tafsir disampaikan kepada publik.

“Tafsir-tafsir agama mainstream dikalahkan oleh pilihan-pilhan personal bersumber dari yang bukan otoritas, tapi mungkin demi memenuhi akal sehat mereka,” ungkap Fachrul

“Mereka berkonsutasi dengan berbagai sumber untuk memenuhi kehausan agamanya,” tambahnya.

Pesatnya perkembangan teknologi disertai banjir informasi disebut Fachrul, menyebabkan kebenaran soal agama menjadi tidak tunggal. Dampaknya, konten keagamaan berpaham radikal dan ekstrem makin mudah masuk. Oleh karena itu tantangan lembaganya ke depan adalah terkait strategi komunikasi.

“Mereka konsumsi tanpa ada konsultasi dengan otoritas keagamaan tradisional atau mainstream yang ada. Akibatnya, pemikiran keagamaan sebagian besar kita, cenderung intoleran dan mudah terpapar ideologi radikal ekstrem atau sebaliknya jadi super toleran yang mengganggu sendi-sendi beragama,” kata dia. [vn]