MUI: Radikalisme dan Intoleransi tidak Bisa Dikaitkan dengan Buku Agama

“Saya mau menyampaikan bahwa niatnya baik diharapkan kalau bisa kajiannya bisa lebih terbuka nanti ahli, tokoh agama termasuk MUI bisa dilibatkan, tapi kalau memang belum ada yang ditemukan ya kita jujur saja kalau tidak ada konten radikal”, kata Zaitun Rasmin di Jakarta, Ahad (17/11).

Ketua Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara itu menegaskan, aktor terorisme dan radikalisme sama sekali bukan produk buku-buku agama. Baik buku dari Diknas maupun Kementerian Agama.

“Itu saya kira dari berbagai sumber-sumber yang lain yang mungkin telah masuk dan mungkin bukan secara formal di sekolah,” ucap dia.

Ia meminta agar tak perlu menimbulkan kehebohan baru di tengah masyarakat. Apalagi, penulisan ulang buku-buku memerlukan anggaran yang tidak sedikit.

Ketua Umum Wahdah Islamiyah itu mengusulkan agar pencegahan radikalisme dan intoleransi melalui pembinaan guru. Ini karena orang baik dan toleran masih mendominasi masyarakat di Indonesia.

Ia juga menolak stigma bahwa Indinesia darurat radikalisme dan intoleransi. Pemerintahan tidak boleh menimbulkan ketakutan pada masyarakat, sehingga semua orang menjadi paranoid.

“Saya tidak setuju darurat, kalau dari sisi pemahaman umum ya, tapi kalau kejadian-kejadian yang itu karena memang dia extra ordinary crime yang teroris itu boleh kita katakan demikian,” ujarnya.

Inisiator Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu setuju bahwa intoleransi, radikalisme, dan terorisme tidak boleh dibiarkan, tapi belum sampai pada level darurat. Ia mengajak agar semua pihak melihat realitas bahwa kehidupan di Indonesia sebenarnya aman dan damai.

“Semua kita ini setuju jangan dibiarkan, tapi jangan dibilang darurat masif ini, andaikan massif di Indonesia mungkin setiap hari akan terjadi seprti di Pakistan misalnya, obyektif lah kita, karena ekstrim kanan muncul karena ekstrim kiri, Ini berbahaya,” ucap dia. [ns]