Pengalaman ‘Air Mata’ Siem Mei Hwa di Reuni 212

Kami rela berdesakan dengan orang lain yang tak saling mengenal tapi jiwanya ada rasa kebersamaan. Akupun tak dapat menahan tangis haru begitu juga anggota keluargaku. Jutaan rasa yang menghinggapi kami membuat aku terisak. Beberapa jamaah memberikan tisue kepadaku. Aku mengusap air mataku, belum pernah perasaan ini berkecamuk sebegitu dahsyatnya.

Rasa takjub dan bangga belum pernah aku lihat manusia sebanyak ini begitu tertib. Puji Tuhan, ini sungguh luar biasa. Apalagi saat mendengar lantunan sholawat yang begitu kompak.

Tak henti-hentinya aku mengusap air mata yang menggenangi mataku.

Setelah berjalan sekian puluh meter. Aku bertemu dengan rekan-rekan yang aku tahu mereka adalah non muslim. Rupanya mereka merasakan hal yang sama denganku. Dan aku semakin lebih takjub, karena banyak yang non muslim pun berdatangan. Ikut membaur dengan para jutaan jamaah.

Mereka pun tak membedakan kami, kami dapat makan dan minuman seperti jamaah yang lain. Mereka memandang kami sebagai saudara. Yang lebih mengharu birukan seorang nenek tua memelukku sambil menangis memberikan sebungkus nasi uduk.

Tuhanku…rasanya lutut ini lemas tak berdaya. Air mata ini semakin deras membanjiriku. Begitupun yang menyaksikan peristiwa ini. Mereka seakan terbawa arus yang ku alami. Aku yang tadinya sempat menilai negatif thinking tentang ini semua.

Jadi mendapatkan suatu nilai moral yang luar biasa. Aku dan keluarga besarku yang biasa dengar Pasteur khotbah di gereja, atau dengar Bhikkhu di vihara. Tak pernah sampai seharu ini.

Puji Tuhan. Di sinilah, di 212 lah aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Bahwa merekalah orang-orang yang mempunyai hati terpilih.

Yang mempunyai pesan moral yang tiada ternilai. Untuk menyikapi rasa persaudaraan sesama anak bangsa.

Desember 06, 2018 (kk/tsc)

Penulis: Siem Mei Hwa (Susi Meliana Waty)