Peran Intelejen Belanda atas Klaim Wali Songo Dari Cina

Nah, kemudian kalau dilihat disini, hasil dari penelitian Residen Portman atau mungkin kepala dari singkatannya PID yaitu Politieke Inlichtingen Dienst, atau Dinas Intejen Politik. Dia sendiri memang berhati-hati menulis bahwa semua yang dia baca lalu dia tulis sebagai catatan, masih dengan  catatan supposition, atau dalam bahasa Belanda-nya veronderstelling, dalam bahasa indonesia dugaan.

Misalnya, di halaman 654 kalau dilihat disitu, saya tulis dugaan. Jadi disitu ditulis dugaan, supposition Putri Campa adalah istri haji Ma Hong Fu, yang diatasnya lagi dugaan haji Gang Eng Cu adalah Aryo Tejo dan adalah ayah dari Nyi Ageng Manila yang lahir di Manila. Halaman selanjutnya halan 655 mulai mengenai satu wali songo, yang dibawah itu, ada ditulis supposition/dugaan Bong Swie Ho adalah Raden Rahmat gelar Sunan Ampel, begitu juga dengan yang lain-lain semua itu adalah dugaan. Jadi itu semua dugaan-dugaan. Jadi ditulis sendri oleh Residen Poortman dugaan-dugaan dan MOP serta ayahnya dikutip sama dan ditulis sebagai dugaan.

Tetapi, Pof Slamet Muljana dalam beberapa hal dia tidak menulis dugaan, sebagaimana juga disampaikan oleh Dr Asvi Warman Adam, bahwa Slamet menyimpulkan padahal inikan lemah sekali. Penulis aslinya sendiri menyatakan menduga, tapi dia menyimpulkan dan bahkan di halaman 105 buku ini (Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam Di Nusantara) dia tulis “telah dibuktikan bahwa Jaka Dilah atau Arya Damar adalah Swan Liong.

Bagaimana bisa dia membuktikan, Prof Slamet Muljana ini sudah almarhum. Tetapi apa yang ditinggalkan ini menjadi bahan polemik. Jadi, ini hal-hal yang menurut saya menyesatkan. Bahwa yang seharusnya ditulis sebagai dugaan, dia sudah simpulkan dan memastikan. Kemudian, fatalnya yang membaca buku ini tidak lagi dengan cermat bahwa juga disampaikan, bahwa di buku Tuanku Rao juga masih ditulis dugaan. Slamet Muljana juga menulis, tapi dalam beberapa hal Slamet Muljana sudah menulis kepastiannya dan kesimpulannya. Jadi, kalau dilihat sekarang ini, yang beredar bukan lagi dugaan-dugaan.

Saat ini kata dugaan itu sudah hilang, jadi seolah Bong Swie Ho adalah Sunan Ampel padahal aslinya ditulis “diduga” diduga Sunan Ampel. Jadi ada beberapa, kalau disini disebutkan ada lima. Jadi, Sunan Bonang itu adalah Bong Swie Ho, kemudian Sunan Kalijaga adalah Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati adalah Toh A Bo, dan Sunan Kudus atau Ja’far Shadiq adalah Ja Tik Su. Ini kan kesimpulan atau tulisan dari Residen Poortman.

Nah sekarang kalau kita meneliti motifnya, kita melihat yang pernah juga kita bahas disini untuk menghancurkan atau menguasai satu bangsa itu dengan tiga tahapan mengenai sejarahnya. Pertama sejarahnya dikaburkan atau dikacaukan, kedua diputus mata rantai antara pengetahuan mengenai leluhur dengan keadaan yang sekarang, dan langkah ketiga adalah ditulis, dikarang, atau dipalsukan sejarah baru. Nah, ini yang banyak sekarang ini beredar, selain diplesetkan, salah, di buku-buku sekolah juga banyak salah, bahkan di buku-buku pedoman yang dikeluarkan oleh kemendiknas tahun 2017 juga banyak yang salah, dan banyak dipalsukan yang beredar di masyarakat dipalsukan.

Jadi saya, tidak mengatakan bahwa ini dipalsukan, karena dia mengutip dari suatu sumber, hanya dia menyimpulkan, kesimpulannya dia. Karena memang menurut Prof. Taufik Abdullah penelitian dan penulisan sejarah itu adalah interpretasi, tafsir dari sudut pandang peneliti atau penulis tentu berbeda-beda. Kita bisa membaca buku yang sama, tapi ada banyak kesimpulan, banyak terjadi kan. Jadi, menurut pendapat saya sumbernya ini sangat lemah. Karena tidak ada yang pernah melihat sumber aslinya, dokumen bahasa China.

Nah, tadi saya katakan, saya hubungkan metode Belanda yang ratusan tahun memanipulasi penulisan sejarah. Termasuk banyak sekali yang terkecoh pada awal tahun 1950-an sejarawan atau buku sejarah yang terbit di Indonesia, ketika kita belum memiliki pakar-pakar sejarah pada waktu itu hanya diterjemahkan buku-buku sejarah dari bahasa Inggris ataupun bahasa belanda dan sekarang sudah terbukti banyak sekali yang salah dari sudut pandang Belanda. Tidak tertutup kemungkinan bahwa memang ini by design, karena kalau kita lihat sejarah perlawanan dari awal abad ke 20, perlawanan terhadap penjajah, itu dua kekuatan yaitu kekuatan nasionalis dan islam.

Dan untuk itu, kita sudah tau dari metode yang lama, kekuatan nasionalis harus dipecah dan kekuatan Islam juga harus dipecah, dibingungkan, dikacaukan. Jadi, kalau saya melihat ini bahwa Residen Poortman dia memang mengarang, mengarang cerita dengan melenyapkan bukti-bukti karna bukti-bukti itu dia sita tiga cikar dan sekarang tidak ketahui dimana sumber keberadaanya. Yang beredar hanya catatan tangan dia, dia sebutkan ada lima catatan tangan.

photo

Keterangan Foto: Santri Jawa di sebuah perkampungan pada 1920-an.

Q: Itu kejadian sekitar tahun 1400an?

A: Sekitar itu, jadi mulai dari akhir abad 14 sampai awal abad 17. Jadi sedangkan, selain dari sumber-sumber klenteng China, juga ada serat tanda, babat tanah jawa, kitab para raton, dan sumber-sumber lainnya. Jadi, selama ini hingga sampai tahun 70-an itu, yang ada di buku-buku pelajaran sekolah adalah mengutip dari kitab-kitab tersebut yang penelitiannya kebanyakan orang belanda. Jadi, kita sendiri juga tidak tahu kan apakah betul tertulis seperti itu, karena kita lihat beberapa versi dari berbagai penulis orang belanda dari buku yang sama, dan juga berbeda interpretasinya.

Dari kitab-kitab itu serat kanda, babat tanah jawi orang-orang Belanda sendiri berdebat. Dan apa yang dilihat sekarang ini, MOP mendapat catatan tangan yang dikutip dari bukunya Poortman. Apakah satu-satunya yang mendapat catatan tangan? Kan kemungkinan tidak. Karena begitu banyak yang membaca kan? Tadi disebutkan, itu hanya bisa dibaca di kantor, kok bisa beredar di luar?