Rektor Baru ITB, Isu Radikalisme dan Matinya Otonomi Kampus

Kebanggaan atas kebebasan ilmiah di ITB selama ini mampu mensubordinasikan berbagai fenomena dan gejala berpikir dogmatisme dan dianggap non “mainstream”. Berpikir dogmatism meski berkembang di kalangan mahasiswa maupun dosen ITB, namun ketika kembali dalam ranah kampus/universitas, semua mereka sepakat pada “mainstreaming” objektivitas ilmiah.

Pemilihan Rektor ITB kali ini, suasana kebebasan ilmiah bergeser kacau-balau ketika ada indikasi beberapa unsur yang berpengaruh dalam pemilihan rektor, memainkan isu politik kotor untuk pemilihan rektor, yakni radikalisme. Kelompok-kelompok ini sejak setahun lalu sudah mengembar-gemborkan ITB sebagai sarang radikalisme.

Untuk itu, digaung-gaungkan pemilihan Rektor ITB harus melibatkan badan intelijen negara (BIN) dan badan nasional penanggulangan terorisme (BNPT). Islamophobia didorong untuk menjadi isu sentral ketimbang isu kebebasan ilmiah dan kancah prestasi ITB dalam riset dan kemajuan industri.

Resonansi yang diharapkan kelompok-kelompok ini adalah agar kekuasaan rezim Jokowi, yang mempunyai veto 35% suara pada pemilihan rektor, digunakan untuk memenangkan calon rektor yang sejalan dengan “kode” antiradikalisme tersebut.

Untuk menjaga ITB sebagai institusi ilmiah, sejak dahulu, keabsahan berpikir ilmiah itu digariskan oleh senat guru besar ITB. Senat guru besar ITB masa itu adalah kebanggan dan keagungan sebuah perguruan tinggi. Saat ini, fungsi senat guru besar itu digantikan senat akademik, sebanyak 59 orang, yang mana senat guru besar tetap menjadi bagian didalamnya.