Rektor Baru ITB, Isu Radikalisme dan Matinya Otonomi Kampus

Dalam pemilihan Rektor ITB, senat akademik dipercaya untuk menentukan kelayakan calon rektor. Dari 100-an calon rektor ITB baru ini, senat akademik secara hati hati menyeleksi calon rektor. Pada tahap pertama, calon rektor diseleksi dari 100-an calon menjadi 30 calon. Lalu, dari 30 calon menjadi 10 calon. Lalu, dari 10 calon menjadi 6 calon dan lalu seleksi lagi, akhirnya ditetapkan menjadi 3 calon.

Proses seleksi dari institusi senat akademik atau dari orang-orang yang memiliki klaim sebagai masyarakat ilmiah, atau dari simbol logik dan kebenaran ilmu pengetahuan, keluarlah 3 nama, yakni Professor Kadarsyah Suryadi, Professor Jaka Sembiring dan Professor Reini Wirahadikusumah. Posisi voting ilmiah yang obyektif ini diberikan kepada Kadarsyah sebanyak 28, kepada Jaka Sembiring 10 dan Reini 10 suara. Sisanya terbagi pada calon terbawah.

Setelah 3 calon, pemilihan berikutnya diserahkan ke Majelis Wali Amanah (MWA), sebuah institusi yang tidak ilmiah lagi, di mana Mendikbud dan Gubernur, sebagai anggota, dan beberapa lainnya mewakili masyarakat, di luar anggota senat akademik.

Mengapa Otonomi Kampus ITB Dimatikan?

Ketika Kadarsyah dipilih senat akademik sebagai calon rektor terbaik, namun tidak dijadikan rektor oleh kekuatan MWA dan negara, maka kita mengetahui bahwa upaya anggota senat akademik (59 orang) itu, terbentur kekuasan Jokowi, yang melihat isu radikalisme lebih penting bagi penentuan rektor ITB.

Pada saat uji kelayakan publik akademik ITB, oleh MWA, di kampus ITB, Kadarsyah memperlihatkan keunggulan mutlak, dengan mengantongi voting 358 suara, Jaka Sembiring 150 suara dan Reini hanya di papan bawah, 81 suara. Meski suara ini bersifat setengah sakral, karena itu suara diluar senat akademik, namun pada saat Senat Akademik memilih calon menjadi 3 suara, Kadarsyah tetap yang tertinggi.

Pada pemilihan secara politik di kantor Menteri Pendidikan, (8/11/2019), Reini menang dalam pemilihan. Inilah sebuah ironi, di mana Kadarsyah dengan modal 48,28% kalah dari Reini yang bermodalkan 17,24% saja.

Apa penjelasan yang ingin diketahui terkait ini? Dari sisi akademik kita sudah selesai, Kadarsyah terbaik, sedangkan Jaka Sembiring dan Reini jauh di bawahnya. Jadi kemenangan Reini adalah kemenangan nonpendekatan akademik. Apakah karena dia wanita?

Di ITB isu gender bukanlah isu objektif. Objektivitas ilmiah tidak membatasi kebebasan perempuan seperti dalam ajaran dogmatis, misalnya. Lalu, apakah yang menarik untuk dipahami? Tentu saja isu radikalisme tadi.

Isu radikalisme kampus, dalam “hearing” 3 calon rektor itu, pada 2 November, ketika ditanyakan soal radikalisme, kandidat rektor Kadarsyah dan Jaka Sembiring mengangkat bendera merah, sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan Reini bendera hijau. Bendera merah artinya mereka menganggap isu radikalisme tidak mainstream di ITB, sebaliknya bendera hijau menunjukkan, sedikitnya, ada. Nah kode merah versus hijau ini adalah kunci bagi pemerintah Jokowi untuk mengetahui siapa yang pro pada isu anti radikalisme di kampus dan siapa yang tidak.

Penutup

ITB adalah sebuah kampus yang sudah ada di Indonesia sebelum negara Indonesia ada. ITB juga yang mencetak Ir. Sukarno menjadi pemimpin radikal di Indonesia dan sekaligus negara-negara Asia-Afrika. Sehingga isu radikalisme di ITB sesungguhnya isu murahan. Isu murahan ini dicoba mainkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang ingin mengaitkan kampus pada radikalisme.

Pada tataran masyarakat ilmiah, atau senat akademik, ITB masih waras, terbukti dengan menihilkan isu itu sebagai pertimbangan memilih calon rektor. Senat akademik lebih melihat visi kebangkitan kampus sebagai “entrepreneurial University”, disamping sebagai tulang punggung riset dan teknologi.

Sayangnya, kampus ITB bukan lagi institusi otonom, yang bebas dari intervensi kekuasaan. Kampus saat ini harus tunduk pada keinginan rezim dalam menjalankan isu anti radikalisme. Situasi ini akan berdampak buruk buat ITB, setelah 100 tahun berdiri, di mana kebebasan ilmiah dan objektivitas terpinggirkan.

Tepuk tangan kita tentang kehadiran perempuan yang pertama kali sebagai Rektor ITB, dari uraian di atas, harus direnungkan kembali, apakah hanya sekadar “presence” (kehadiran),Ā  bukan sebagai “essence” (esensi)?

*) Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, Alumni Teknik Geodesi & Geomatika ITB Dan Magister Studi Pembangunan ITB