Kecewa Hasil JR Presidential Threshold , Rizal Ramli: MK Lebih Mendengar Suara Kekuasaan

eramuslim.com – Sedari awal tokoh nasional DR. Rizal Ramli sudah skeptis dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan  Judicial Review (JR) terkait Presidential Threshold 20 persen sebenarnya urung dilaksanakan lantaran melihat track record MK yang selama ini lebih menjadi “Mahkamah Kekuasaan”.

Rizal Ramli mengatakan bahwa keputusan-keputusan MK terkait kebijakan selama ini lebih banyak membenarkan status quo.

“Jadi wajar kami skeptis. Tetapi saya tidak mau suudzon, atau praduga yang negatif. Itulah alasan kami tetap mengajukan JR ini,” tegasnya kepada wartawan, Minggu (17/1).

“Namun hasilnya ternyata seluruh Hakim MK menolak legal standing kami,” sambung Rizal Ramli.

Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengaku kecewa dengan putusan MK tersebut karena tidak memiliki argumen hukum yang kuat.

MK, katanya, lebih mendengarkan suara kekuasaan dan merasa ketakutan jika membiarkannya hadir di pembahasan substansi perkara.

“Para hakim di MK tidak memiliki bobot intelektual, kedewasaan akademik, dan argumen hukum yang memadai untuk mengalahkan pandangan kami,“ tegasnya.

Seperti argumen bahwa sistem Presidential Threshold 20 persen merupakan legalisasi dari sistem politik uang dan kriminal yang merusak kehidupan bernegara dan merugikan kepentingan sosial ekonomi rakyat.

Di seluruh dunia ada 48 negara yang menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia tetapi tidak ada pembatasan semacam Presidential Threshold.

Ada negara seperti Ukraina yang bahkan memiliki 39 calon presiden, dengan 18 orang dicalonkan parpol yang berbeda dan 21 orang dicalonkan independen.

Namun itulah esensi demokrasi yang sesungguhnya, menurut Rizal Ramli. Artinya, rakyat yang menyortir dan memilih calon presiden. Bukannya parpol yang melakukan sortir dan pre-seleksi calon presiden berdasarkan kriteria kekuatan finansial.

“Di Indonesia capres-cawapres harus bayar atau ‘menyewa’ parpol-parpol untuk bisa dicalonkan. Para hakim MK yang menolak pembahasan masalah yang sangat prinsipil ini menunjukkan kelemahan pemahaman mereka terhadap sistem demokrasi dan tanda dari gejala kepicikan dan kecupetan berpikir,” tegasnya.