Asyari Usman: Jangan Terus Menjadi Buih di Lautan

Kalau sifat-sifat buih masih ada di tengah umat Islam, maka jangan diharap kesewenangan oligarkhi kekuasaan bisa dilenyapkan. Lima tahun ke depan harus dijadikan periode pembersihan umat dari mentalitas buih. Umat tidak boleh lagi dijuluki buih di lautan.

Umat harus berubah menjadi torpedo. Atau setidaknya menjadi rajau laut. Tidak boleh lebih lemah dari ranjau laut. Sebab, ranjau laut saja masih akan bisa disapu oleh kapal penyapu ranjau.

Umat sebagai ranjau laut akan diperhitungkan oleh kapal-kapal pencuri ikan yang selama ini anggap enteng terhadap buih. Apalagi kalau umat bisa menjadi torpedo. Pastilah akan disegani oleh kapal-kapal perang yang selama ini terbiasa sesuka hati terhadap buih.

Berubahlah, wahai umat. Tinggalkan karakter buih. Adopsilah sifat-sifat torpedo atau ranjau laut. Torpedo dan ranjau laut tidak akan lagi menjadi permainan angin, arus, ombak dan kapal. Sebaliknya, mereka menjadi setara. Sama-sama memiliki kekuatan dahsyat.

Sabda Nabi SAW tentang “umat Islam bagai buih” itu secara implisit mengandung kritikan dan dorongan agar umat senantiasa menyusun kekuatan. Dalam 20 tahun belakangan, konsolidasi itu sudah terjabarkan. Tetapi, masih banyak lagi aspek yang harus dipahami dan dijadikan navigasi untuk menghadapi kekuatan-kekuatan jahat yang senantiasa ingin menghancurkan umat, yang ingin melemahkan umat.

Kekuatan umat ansich tergantung pada kualitas manusia. Alhamdulillah, kualitas human resource (SDM) umat semakin baik. Banyak berubah. Perubahannya cukup ‘noticeable’ (mencolok). Perubahan membaik kualitas SDA umat memicu pertumbuhan drastis dalam hal perhatian umat terhadap politik praktis. Semakin banyak yang sadar bahwa umat Islam sedang dikepung oleh blok-blok sosial-politik yang punya satu tujuan: yaitu menindas umat. Peranan besar emak-emak di pilpres 2019 adalah salah satu contoh kesadaran itu. Contoh perubahan signifikan itu.

Aspek perubahan lainnya adalah sensitivitas umat terhadap kebersamaan (keberjemaahan). Umat semakin ringan untuk melangkahkan kaki dan berkorban demi perjuangan. Upaya yang relatif mudah untuk mengumpulkan umat dalam aksi-aksi damai adalah perubahan yang paling penting sejauh ini. Itu bisa dilihat dari aksi 212, reuni 212, kampanye pilpres 02 yang selalu membludak, sampai aksi-aksi kawal hasil pilpres serta reaksi keras terhadap keputusan aneh MK.

Namun, akselerasi perubahan itu kelihatannya belum cukup cepat. Belum ekstensif. Perubahan sikap umat haruslah juga ekspansif.

Untuk saat ini, mungkin saja perubahan itu belum cukup memadai untuk menghadapi kecurangan atau bentuk kesewenangan lainnya yang didemokratiskan oleh elemen-elemen jahat di negara ini. Karena itu, elit umat Islam perlu bekerja lebih keras dan terarah untuk menumbuhkan kesadaran tentang perlunya memperbaiki SDA. Pada gilirannya, kualitas umat yang makin baik akan memudahkan mereka untuk memahami bahwa semua ruang pertarungan politik harus diisi oleh umat.