Bangsa Terbelah, Ini Sangat Menyedihkan

eramuslim.com

by Tony Rosyid

Kalah menang, itu biasa. Termasuk kalah menang dalam pemilu. Kalau yang kalah itu kecewa, wajar. Secara psikologis, ini manusiawi. Sebagian ada yang belum move on, harus juga dimaklumi sebagai wajar juga. Tugas kita, terutama pemenang, menyadarkan mereka yang belum move on itu. Menyapa dan merangkulnya. Jumlah mereka nggak banyak, dan mudah untuk dipulihkan.

Yang menjadi masalah, dan soal ini cukup serius adalah, orang-orang yang melakukan kritik kepada pemerintah dituduh sebagai bagian dari kelompok yang belum move on. Dianggap sebaga kelompok mencari-cari kesalahan dan mau menjatuhkan wibawa pemerintah. Disini letak kesalahannya.

Di tengah gendutnya koalisi penguasa, posisi pemerintah saat ini sangat kuat. Nyaris tidak terkontrol. Partai-partai nyaman dengan berbagai posisi dan bagiannya. DPR menjadi lumpuh. Tidak lagi punya gigih, kecuali hanya menjadi legitimator bagi keputusan dan kerja eksekutif. Ini sangat menyedihkan. DPR terburuk dalam sejarah demokrasi negeri ini.

Pers dan mahasiswa juga tiarap. Disini, penguasa cenderung berprilaku semaunya. Banyak kebijakan yang tak aspiratif dan tidak sesuai dengan kepentingan rakyat. Kebjakan yang dibuat pemerintah lebih utama untuk menampung kepentingan oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas, tamak dan rakus. Rakyat hanya menonton main pemerintah bersama oligarki dan konglomerasi.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu diingatkan. Disini, perlu orang-orang yang kritis yang mau mengontrol kinerja dan memberi peringatan ketika ada kebijakan pemerintah yang keliru. Supaya ada check and balances. Supaya pemerintah tau kalau rakyat itu kritis. Sehingga pemerintah tidak asal-asalan dalam membuat kebijakan negara.

Setiap rezim, selalu muncul orang-orang dan kelompok idealis. Mereka lahir untuk meluruskan arah kebijakan penguasa yang salah. Menembalikan penguasa kepada tujuan bernegara yang digariskan oleh para pendiri bangsa. Ini terjadi dari zaman awal kemerdekaan, hingga era reformasi. Dan saat ini, kita sedang menghadapi era neo-reformasi. Era yang berbeda sama sekali dari pra dan pasca reformasi.

Sayangnya, munculnya kritik seringkali dianggap sebagai upaya menjatuhkan penguasa. Ini yang keliru. Jika kritik itu datang bukan dari kelompok pendukung, dituduh belum move on. Jika kritik berasal dari pendukung, dianggap sakit hati karena tak mendapat posisi. Gak ada yang bener.

Parahnya, ada petugas khusus yang disiapkan untuk menghadapi para pengkritik ini. Mulai dari buzzer rupiah, hingga yang bertugas sebagai pelapor ke polisi. Mereka seperti “kebal hukum”. Diduga kuat ada pihak yang melindungi mereka. Mereka bisa dengan leluasa mempolisikan siapa saja yang dianggap sebagai oposisi kepada kekuasan. Hebat sekali mereka.

Sampai disini, keterbelahan yang sudah muncul saat pemilu, sekarang makin parah. Penguasa tidak terlihat merangkul pendukung yang kalah. Sementara kerja buzzer rupiah bekerja semakin masif untuk merusak tatanan persatuan dan kesatuan. Pancasila dan NKRI seringkali menjadi mainan narasi melawan kelompok pengeritik. Media dan medsos isinya penuh provokasi.

Aksi dan reaksi kedua belah pihak terus mengambil sejarah kegaduhan bangsa ini. Istilah dan nama “binatang” sudah jadi identitas kebanggaan masing-masing kelompok. Sopan santun dan sikap saling menghargai sebagai ciri khas dan karakter bangsa mendadak hilang dari kehidupan kita. Mendadak dan cepat giganti dengan cacian dan kebencian.