Bumi Manusia Rasa Milenial

Mungkin faktor itulah yang akhirnya menuai beberapa kritik. Padahal filmnya dimulai dengan mendongkrak emosi via pemutaran lagu “Indonesia Raya”. Juga digambarkan bagaimana kondisi masyarakat di tengah serbuah modernitas. Plus sisipan tembang menyentuh “Ibu Pertiwi” yang dibawakan Iwan Fals.

Pun dengan komitmen para aktornya yang membawakan multi-bahasa di filmnya, mulai dari bahasa Jawa, Belanda, Prancis, Cina hingga Jepang. Sayangnya tak diikuti bahasa Melayu yang jadi “bahasa pemersatu” kaum bumiputera saat itu, melainkan hanya bahasa Indonesia baku belaka. Membuat suasana filmnya sangat milenial meski menggerogoti keotentikan karya Pramoedya.

Meski dinamika naik-turun alur filmnya tetap ada, namun setengah durasi ke belakang justru terasa membosankan. Belum lagi runyamnya beberapa detail properti. Seperti seragam polisi Belanda yang mirip serdadu security dengan senapan mirip Arisaka – senapan khas Jepang dengan topi lebar bak serdadu musketeer dari Prancis. Seragam opsir Belanda-nya pun justru nampak seperti baju koko.

Itu jika dibandingkan dengan sejarah aslinya di era itu. Masalahnya beberapa kejadian juga menyeleweng dari novel Pram sendiri, Bumi Manusia. Dalam novelnya, saat Minke disatroni polisi untuk dijemput, perlakuan agen polisinya nampak kasar. Padahal pada novelnya digambarkan Minke dijemput dengan perlakuan sopan, mengingat Minke anak bupati. Surat pemanggilannya pun bertuliskan “Karesidenan Bodjonegoro”, bukan Kabupaten Bodjonegoro lantaran ayahnya si bupati lah yang memanggilnya.

Di novel Pram juga Minke menjelaskan asalusul namanya yang bersumber dari hinaan gurunya semasa ELS (De Europeesche Lagere School). Mungkin dalam dialognya Iqbaal yang memerankan Minke kepeleset lidah bahwa panggilan itu berasal dari guru sekolah HBS. Hanung juga melupakan perkenalan Minke dengan anak bupati asal Jepara (Kartini) yang sempat dikaguminya semasa ELS.

Hanung Bramantyo, sutradara film “Bumi Manusia” (Foto: Randy Wirayudha/Historia)

Lantas di adegan Minke disuruh jalan jongkok sebelum menghadap ayahnya di pendopo kabupaten. Orang yang menyuruhnya adalah abdi dalem pendopo. Padahal dalam novel, yang menyuruh Minke jalan jongkok adalah agen polisi yang mengantarnya dari Surabaya ke Bojonegoro.

Dalam film juga tak diputar lagu “Wilhelmus” saat perayaan penobatan Ratu Wilhelmina dan penobatan ayahnya jadi bupati, sebagaimana dituangkan Pram. Dalam pengadilan juga tak nampak adanya jaksa penuntut, di mana sistem hukum kolonial masih sangat serupa dengan saat ini, juga di novel. Nyai Ontosoroh hanya ditekan oleh hakim.

Pun dengan vonis Baba Ah Tjong sebagai peracun Herman Mellema. Dalam film, hakim hanya memvonis Nyai Ontosoroh terbebas dari segala tuduhan. Padahal jelas-jelas Pram mengungkap hakim Landraad memvonis Baba Ah Tjong hukuman penjara 10 tahun dan kerja paksa.