Catatan Djoko Edhie: Media Indonesia Perlu Belajar dari War On Terrorism

Eramuslim.com – Di tajuk rencana hari ini (5/5), Media Indonesia memuji cara Mahathir Mohammad dan rakyat Malaysia mengkritik utang. Tapi, pembaca tajuk ini di Metro TV, malah mengkritik kritik atas utang Pemerintah Indonesia: paradoks dan sudah pesong (phobia). Ada baiknya belajar dari jurnalis war on terorism untuk tetap jadi jurnalis sungguhan yang bebas hiperbola. Saya kutipkan resensi depthnews dari Trevor Aaronson yang dikirim Edwin Sukowati ke saya, sbb:

Sebagai polisi terbaik di dunia, FBI dikritik oleh pers, bahwa terorisme adalah bikinan FBI. Kritik itu dari Trevor Aaronson, soal perang melawan teroris yang dilakukan FBI, ditulis secara indepth (investigasi jurnalistik). Dari situ, Aaronson menyusun temuannya ke bentuk buku, berjudul  #TerrorFactory: Inside The FBI’s Manufactured War on Terrorism. Eh, ternyata indepth itu disambut baik oleh FBI. Maksudnya, penulisnya tidak dibungkam seperti Bambang Tri.

Di atas kritik ini, saya sendiri terus menawarkan sefl-critisism kepada negara, tulis Aaronson.

Sebab dalam ilmu negara modern, negara nampak sering bikin masalah, bukan karena ada masalah, tapi untuk mempertahankan eksistensi negara.

Dan kita yang bekerja dalam negara, tidak perlu marah dan mengambilnya sebagai masalah pribadi. Sebab, itu tugas kita menerima kritik dalam bernegara.

Makanya lahir lembaga yang secara khusus ditugaskan jadi oposisi. Dalam presidensialisme, DPR itu tugasnya oposisi kepada pemerintah.

Dalam sistem parlementer, koalisi oposisi terbentuk saat koalisi pemerintahan terbentuk.

Dan, di beberapa negara, oposisi diberikan biaya lebih besar, agar mereka kuat melawan koalisi pemerintah (yang memegang sumberdaya besar).