Derek Manangka: Kejinya Kebijakan Politik Beras

Boleh jadi mereka tidak lagi menganggap saya sebagai sahabat atau teman. Karena status saya sekarang tidak lagi menjadi pimpinan dari sebuah media. Dan persahabatan saya dengan keduanya, terjadi, karena status saya sebagai orang media.

Tidak gampang beropini secara kritis, bila menghadapi situasi seperti ini. Namun apapun yang terjadi, – terutama karena opini, saya tetap menganggap keduanya sebagai sahabat.

Enggar, mungkin, dia satu-satunya politisi yang kalau bersapa dengan saya bisa “loe-loe gue”.

Ini terjadi karena faktor sejarah terjadinya persahabatan dan saya berhutang budi padanya.

Rumah pertama saya di Jakarta, setelah keluar dari “Kompleks Perumahan Sinar Harapan”, di Pondok Gede, Bekasi, diperoleh melalui Enggar. Saat dia menjadi Dirut dari semua perusahaan properti milik Siswono Yudhohusodo. Enggar dipercaya Siswono, ketika yang terakhir ini diangkat Presiden Soeharto sebagai Menteri.

Atas diskresinya, tanpa melalui izin Siswono, rumah tersebut saya peroleh yang sebagian besarnya dibayar dengan “barter iklan” di majalah “Vista”.

Enggar “memberikan” rumah tersebut kepada saya, atas “perintah” Surya Paloh, yang di tahun itu merupakan boss saya – investor majalah “Vista”.

Enggar sekarang menjadi anggota Partai Nasdem, partai yang didirikan Surya Paloh. Saya tidak ikut di Partai Nasdem, dan bukan lagi anak buahnya Suya Paloh.

Sementara, Rizal sebelum menjadi Menteri Keuangan di kabinet Presiden Abdurrahman Wahid – (1999- 2001), merupakan langganan saya – nara sumber aktif untuk “talk show” di Radio Trijaya FM.

Saat menjadi salah satu pemandu “Jakarta Round Up” maupun “Jakarta First Channel” radio Trijaya FM saya sudah berubah status : wartawan “Media Indonesia”.

Keberadaan saya di “Radio Trijaya”, selaku wartawan, merupakan bagian dari penugasan Surya Paloh sebagai investor harian pagi tersebut.

Saat itu hubungan Surya Paloh dengan pemilik “Radio Trijaya” okey-okey. Pemiliki atau pemegang saham mayoritas radio swasta tersebut Bambang Trihatmodjo dan Mbak Tutut. Keduanya merupakan putera-putri Presiden Soeharto.

Saya menjadi salah seorang pemandu “talk show” Radio Trijaya selama 10 tahun (1992 – 2002).

Dan Rizal Ramli, bekas aktivis ITB yang sangat kritis terhadap pemerintahan Presiden Soeharto – merupakan pemasok sejumlah kritikan untuk berbagai permasalahan bangsa melalui Radio Trijaya.

Di era Presiden Soeharto zaman yang dikenal sebagai periode – dimana pemerintah sangat ketat mengontrol semua opini di media – terutama yang mengeritik kebijakan Orde Baru – Rizal Ramli sudah cukup vokal dan kritis.

Dan uniknya, kevokalan Rizal Ramli lebih banyak tersalurkan melalui “talk show” di Radio Trijaya.

Tidak berlebihan, jika dalam batasan tertentu antara Rizal Ramli dan saya terdapat kesamaan visi. Yaitu melakukan kritik kepada pemerintahan Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto – melalui media milik anak-anak Pak Harto.

Yang penting cara menyampaikan kritik harus elegan, santun, bermartabat dan tidak boleh bermuatan rasa dendam ataupun “like and “dislike”.

Suara, nada dan lirik kritik itu boleh keras.

Atas kesadaran dan kejujuran itu, kami tidak perlu merasa takut atau khawatir untuk ditangkap apalagi dipersekusi oleh mereka yang suka “menjilat” Presiden Soeharto.

Kegalauan saya tentang beras, menjadi-jadi, setelah mendengarkan postingan dari sebuah laporan MetroTV – media milik Surya Paloh.

Karena saya menduga, Surya Paloh, sekalipun pemilik, dia tidak menyaksikan tayangan yang saya maksud.

Padahal kalau saja SP menontonnya dan dia manfaatkan materi itu untuk masukan bagi Presiden Joko Widodo, kita tidak akan perlu khawatir tentang pasokan beras ke depan.

Laporan berdurasi sekitar 5 menit itu, mengungkapkan tentang eksisnya seorang petani cerdik bernama Surono.

Petani ini sudah menemukan sejumlah bibit unggul padi dan ubi. Hasilnya sangat produktif.

Tapi rumus pembibitan yang produktif ini, tidak digunakan oleh pemerintah, cq Kementerian Pertanian.

Oknum yang bertanggung jawab atas produktifitas beras Indonesia, lebih percaya kepada konsep asing atau impor.

Berulang-ulang saya putar kembali video tersebut. Dan kesimpulan saya semakin kuat. Informasi yang begitu berharga, tidak ada yang memperhatikannya.

Mulai dari Surya Paloh sebagai pemilik media, sampai dengan Enggar sebagai anak buahnya SP, sami mawon. Keduanya sibuk dengan urusan politik “tingkat tinggi”. Dan tentu saja Rizal Ramli, termasuk yang mengabaikan video tersebut.

Seandainya Enggar menonton liputan Metro TV itu, mungkin dia akan tetap membuat kebijakan impor, tapi pada saat yang sama dia juga mengumumkan tentang temuan petani Surono. Sehingga dia bisa berjanji, kebijakan impor beras kali ini merupakan yang terakhir.

Selanjutnya, Surya Paloh sebagai pemilik stasiun televisi, juga akan disadarkan bahwa untuk kepentingan yang lebih luas, MetroTV perlu lebih memperbanyak liputan-liputan yang tidak melulu politik atau mengurangi porsi iklan Partai Nasdem sendiri.

Video liputan tentang Surono, petani yang menemukan konsep bagaimana meningkatkan produksi beras dan pangan, telah saya coba sertakan di tulisan ini. Tapi tidak berhasil.

Bagi yang berminat, saran saya mintalah filenya ke Enggar atau Pak Surya – eh maksud saya – langsung saja kepada redaksi MetroTV