Dr. Fuad Bawazier: Ingat, Krisis ’97 Diawali Dari Utang

Kekhawatiran lebih lanjut adalah keterbatasan valas untuk membayar utang dalam mata uang asing mengingat 5 (lima) hal, yakni; pertama, neraca perdagangan yang cenderung defisit dalam 3 (tiga) bulan terakhir ini yaitu dari Desember 2017 sampai dengan February 2018 mengalami defisit total USD 1,1Miliar atau rata-rata defisit perbulan USD 364 juta.

Kedua, kenaikan Cadangan devisa yang bersumber dari utang luar negeri dan hot money yang sewaktu-waktu mudah ditarik keluar negeri. Ketiga, tax ratio yang rendah tetapi cenderung menurun yang mengindikasikan kedepan kemampuan pemerintah akan menurun dalam memenuhi kewajiban pembayaran utangnya.

Keempat, sektor industri yang merupakan penyumbang pajak (tax revenue) sebesar 31% cenderung menciut karena terjadinya de-industrialisasi yaitu dari 28% (1997) menjadi 20% PDB (2017). Kelima, kenaikan anggaran 2018 untuk subsidi seperti listrik dan BBM yang akan membebani ekstra APBN karena Presiden Jokowi ingin menjaga dukungan politik rakyat dalam menghadapi Pemilu 2019.

******

Jadi dari segi kajian dengan memperhatikan berbagai variabel yang berkaitan dengan kemampuan membayar kembali utang plus bunganya, utang pemerintah memang mencemaskan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai target dan perdagangan yang lesu, pihak swastapun mulai merasakan kesulitan membayar utangnya. Kredit bermasalah di bank-bank cenderung meningkat dan restrukturisasi utang kabarnya semakin banyak untuk mengurangi status kredit macet.

Karena itu atas berbagai kajian ilmiah dan kritik para ekonom, pemerintah tidak perlu sewot apalagi menudingnya sebagai provokasi. Ingat bahwa krisis ekonomi dahsyat 1997 bermula dari ketakutan pasar bahwa swasta Indonesia akan kesulitan membayar utang utangnya terlebih utang dalam valas.

Ketakutan itu mengawali melemahnya kurs rupiah. Padahal saat itu (1997) kondisi keuangan negara amat bagus dan indikator ekonomi makro pada umumnya bagus termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi, neraca perdagangan yang surplus dan cadangan devisa yang memadai.

Bahkan saat itu (1997) berkali kali pemerintah menegaskan bahwa fundamental ekonomi Indonesia kuat. Tetapi masalah atau issue yang dihadapi / dilihat kreditur berbeda yaitu apakah debitur akan mampu membayar kembali utangnya?

Situasi ekonomi 1997 itu adalah isu mikro yang unik yang tidak selalu berkaitan langsung dengan indikasi ekonomi makro. Dari issue pokok inilah krisis yang bersumber dari utang itu seperti tiba tiba saja terjadi dan Indonesia benar benar kalang kabut.

Karena itu kita, khususnya pemerintah, sebaiknya tidak menganggap enteng persoalan utang ini. Jangan pula menganggap bahwa para ekonom pengkritik tidak tahu persoalan alias merasa pintar sendiri.

Sebab, cepat atau lambat pasar akan menyadari bahwa pemerintah akan memasuki masa-masa sulit untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya, dan itulah awal dimulainya krisis.[]

Jakarta, 24 Maret 2018

*Dr Fuad Bawazier, mantan menteru ekonoman mantan dirjen pajak.

Source link