Edy Mulyadi, Pahlawan Reformasi

Kebebasan Diberangus

Pergulatan antara politik dan hukum terus menerus kita alami di Indonesia. Saat ini mengalami yang namanya politik hukum tidak sehat. Dikatakan tidak sehat sebab kepentingan penguasa lebih diutamakan dibandingkan kepentingan rakyat. Bahkan tak sedikit yang melanggar atau mengelabui hukum agar kekuasaan dan kepentingan selamat. Disisi lain begitu mudah terjadinya penangkapan bagi siapapun yang berseberangan dengan penguasa.

Dan tak sedikit juga hukum yang dibuat sangat sarat kepentingan (politik) sehingga merugikan rakyat. Ini menandakan bahwa politik memang memiliki power lebih kuat dibandingkan hukum.

Mendengar nota jawaban Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas Eksepsi penasihat hukum kasus Edy Mulyadi, dari awal sampai akhir ternyata sangat sederhana, hanya pada penafsiran hukum tentang kalimat “Jin Buang Anak”.

Diawali soal penolakan kalimat tim pembela dan masuk pada legalitas keabsahan Edy Mulyadi sebagai wartawan,  memutar balik makna kebebasan,  masuk pada penafsiran hukum tentang “Jin buang anak”, yang ditafsirkan menurut hukum bahwa ucapan  itu mengandung kebencian, menghina pihak lain dan menimbulkan keresahan dan kegaduhan. Akhirnya JPU minta majelis hakim agar mengabaikan eksepsi Tim Penasehat hukum Edy Mulyadi.

Dikatakan sederhana karena hanya ucapan “Jim Buang Anak” jelas mengganggu penguasa yang sedang bernafsu besar bangun Ibu Kota Negara (IKN).  Ada indikasi kuat kepentingan politik Penguasa  untuk memenjarakan Edy Mulyadi yang tidak sejalan dengan kepentingan politik Penguasa.

Sulit dinafikan  adanya indikasi bahwa protes dari sekelompok masyarakat di Kalimantan atas ucapan Edy Mulyadi adalah  sebuah rekayasa, untuk pembenaran Edy Mulyadi dianggap menggangu jalannya proses pembangunan IKN.