Hersubeno Arief: “Bunuh Diri” Jurnalisme Harian Kompas

Perasaan yang sama itulah yang membuat orang datang berduyun-duyun ke Monas. Banyak diantaranya yang berasal daerah dan luar negeri sudah sejak lama menabung, menyiapkan bekal untuk hadir.

Dalam perspektif politik Jawa, apa yang dilakukan oleh massa Reuni 212 itu sama seperti laku “topo pepe.” Sebuah protes terhadap raja yang dilakukan dengan cara berjemur dan berdiam diri di alun-alun depan istana. Bedanya seorang Raja Jawa akan menemui para pemrotes, dan menampung aspirasinya. Sementara Jokowi memilih meninggalkan istana atau dalam bahasa Jawa disebut nglungani, dan melakukan “blusukan” di Bogor, Jabar.

Filosof dan aktivis demokrasi Rocky Gerung (Roger) menyatakan peristiwa itu settingnya sama dengan ketika pejuang hak-hak sipil AS Marthin Luther King memimpin ratusan ribu orang melakukan protes menuntut persamaan hak di Washington DC pada tanggal 28 Agustus 1963. Jika peristiwa Aksi 212 pada 2 Desember 2016 merupakan sebuah momen, maka Reuni 212 yang terjadi Ahad lalu telah menjadi monumen.

Sikap sejumlah media termasuk Kompas yang mencoba “menenggelamkan” peristiwa sangat dikecam oleh Roger. Secara keras dia menyebutnya sebagai Penggelapan sejarah!


 

Sebagai sebuah peristiwa, Reuni 212 jelas merupakan peristiwa istimewa. Stasiun berita TV One bahkan sampai membuat siaran langsung. TV One bahkan mengangkat topik itu dalam program talk show Indonesia Lawyer Club (ILC). TV One banjir pujian karena keberaniannya menentang arus.