Jokowi Dan Pandemi

“Pandemi Bikin Dunia Terancam Krisis Pangan, RI Bisa Selamat?” Begini judul berita media di Indonesia 25 Juni 2020. Kepala Ekonomi dan Asisten Direktur Departemen Ekonomi dan Pembangunan Sosial Badan Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO), Maximo Torero Cullen pertengahan April lalu menyebut ada potensi terjadinya krisis pangan dunia karena penerapan karantina wilayah atau lockdown untuk memerangi virus Corona.

Indonesia sendiri akan menghadapi beberapa tantangan dalam sektor pangan. BMKG memprediksi bahwa 30% wilayah Indonesia akan mengalami kemarau yang lebih kering dari biasanya. Menurut laporan yang diterima Presiden Joko Widodo dari para menterinya, sederet bahan pangan masih defisit di beberapa provinsi.

“Kabarnya stok beras defisit di 7 provinsi, lalu stok jagung defisit di 11 provinsi, stok cabai rawit defisit di 19 provinsi. Diperkirakan juga stok telur ayam defisit di 22 provinsi, stok gula defisit di 30 provinsi, dan bawang putih di 31 provinsi. Jika dibiarkan, kondisi ini akan memicu lonjakan harga pangan di Indonesia,” ujar Ketua Induk Koperasi Kepolisian (Inkoppol) Negara Republik Indonesia Bapak Irjen (Purn) Yudi Sushariyanto pada keterangannya belum lama ini.

Dipastikan akibat laporan stok beras defisit di 7 provinsi bersama jagung dan cabai rawit inilah yang menjelaskan, mengapa Jokowi marah besar terhadap kinerja Kementerian Pertanian (Kementan). Menghindari debat kusir teoritis dengan pejabat Kementan, mendorong Jokowi mengambil tindakan kilat menyerahkan penanganan ketahanan pangan kepada Menhan. Hal itu setelah didahului dengan ancaman demi ancaman tiap minggu sebagai planting information yang menjanjikan akan ada eksekusi kolosal.

Ini sebuah drama yang tragis yang tidak terhindarkan. Terjadi di tengah pandemi. Namun seakan menjadi solusi dan apologi kontemporer. Diberi cover pembenaran sebagai tindakan out of ordinary (di luar kebiasaan).

Sesungguhnya inilah potret kehidupan “new normal”. Dihayati bahkan dipraktikkan dengan mantap oleh Jokowi yang bergerak bagaikan “Robinhood” tokoh film legendaries: bekerja dan berjuang sendirian dari hutan ke hutan untuk menolong rakyat yang lemah.

Bagaimanakah kelanjutan substansi komitmen partai koalisi untuk saling bergandengan dan senasib sepenanggungan dengan Jokowi? Adakah komitmen koalisi menjadi sirna termakan pandemi kesehatan dan pandemi politik. Lalu sirna ditelan mesin giling alam yang bernama “new normal”? (end)

(Penulis: Zainal Bintang, Wartawan senior dan Pemerhati Masalah Sosial Budaya)