Kesadaran Palsu Dan Budaya Politik Kekerasan

Budaya politik kekerasan massa hilang di era Orde Baru karena Soeharto tidak membutuhkan massa untuk menindas musuh-musuhnya. Soeharto langsung menggunakan aparat untuk keperluan itu.

Di era reformasi muncul kekerasan massa yang dilakukan oleh FPI. Seperti saat ini FPI dibiarkan melakukan aksi. Aparat seperti mengipasi karena praktis mengiyakan tuntutan FPI untuk membubarkan pertemuan-pertemuan dan diskusi-diskusi. Alasan mereka sama: menghindari bentrok massa. Namun pada saat yang sama aparat mengabaikan kewajiban konstitusionalnya untuk melindungi kebebasan berpendapat dan berkumpul.

Sikap aparat yang tidak proper itu membakar kemarahan rakyat kepada FPI. Semakin sering FPI beraksi rakyat semakin marah.

Rakyat kebanyakan tidak menyadari bahwa banyaknya aksi FPI hanya bisa terjadi bila aparat membiarkan.

Semakin membaranya kemarahan rakyat besar kemungkinan adalah sebuah set-up atau sebuah cipta-kondisi dalam bahasa intelejen Indonesia.

Dalam menyataannya, kemarahan publik tersebut dimanfaatkan oleh suatu golongan politik. Mereka meniupkan isu kebangkitan politik identitas, radikalisme, anti-pluralisme dan sektarianisme.

Di masa awal pemerintahan Jokowi isu itu semakin menguat, terutama karena tidak ada tindakan kongkret dari aparat untuk mencegah berulangnya kekerasan massa.

Suatu elite politik dalam pemerintahan Jokowi membakar sentimen itu lebih hebat dengan menjadikan HTI sebagai bukti adanya upaya mengganti Pancasila. HTI memang sering mengungkapkan, secara lisan maupun tulis, cita-cita mereka untuk membangun negeri khilafah di Indonesia. HTI adalah ormas damai, mereka tidak pernah melakukan kekerasan massa.

Namun hal itu tidak mencegah pemerintah membubarkan HTI. Keberadaan HTI dijadikan prima causa bahwa ide-ide radikal dan anti-Pancasila telah merasuk ke dalam lembaga-lembaga negara, ormas, perguruan tinggi, bahkan masjid-masjid. Semua itu dijadikan dalih untuk melakukan pembersihan, orang-orang yang tidak mendukung penguasa harus disingkirkan.

Padahal sebetulnya hanya ada dua kasus, pertama adalah kasus kekerasan massa FPI dan kedua adalah kasus khilafah HTI. Kedua organisasi itu sangat kecil dalam perspektif Indonesia. Keduanya tidak mengangkat senjata. Keduanya juga tidak berhubungan.

Tetapi kegaduhan sosial-politik sengaja diciptakan begitu hebat seakan-akan Indonesia sedang berperang. Seakan-akan rakyat hanya dihadapkan kepada dua pilihan: menjadi negara Pancasila atau negara khilafah?

Indonesia seperti dalam keadaan darurat. Dalam situasi seperti itu orang-orang yang tidak waspada didorong untuk mempercayai penguasa tanpa reserve.

Orang-orang itu kemudian menjadi toleran terhadap kekerasan dan kecurangan penguasa. Mereka juga mengambil sikap tidak peduli terhadap tindakan-tindakan pemerintah yang semakin otoriter dan mengonsentrasikan kekuasaan dengan mengambil kewenangan legislatif maupun eksekutif.

Mereka tidak peduli bahwa produk-produk hukum belakangan ini telah menimbulkan kerugian besar bagi generasi masa depan, misalnya dari ekstraksi minerba. Mereka masa bodoh terhadap potensi penjarahan yang mungkin terjadi akibat undang-undang yang menjadikan pemerintahan kebal hukum.

Mereka tidak mau tahu bahwa UU Cipta Kerja telah mengubah buruh dan tani menjadi budak; tanah sepenuhnya dikomersialisasikan sehingga jutaan petani hanya berpeluang menjadi buruh tani; pesantren-pesantren berubah dari produk amal-ibadah menjadi produk pasar komersial. Dan seterusnya, dan sebagainya.