Menggugat Para Pelaku Sejarah Kelam Industri Minerba Nasional

Namun, cukup banyak ketentuan strategis dan pro-rakyat dalam UU No. 4/2009 yang merupakan pengejewantahan amanat konstitusi dan amanat reformasi, sehingga harus tetap dipertahankan. Faktanya, ketentuan-ketentuan strategis dan konstitusional tersebut justru diubah dan dieliminasi!

Agar revisi terlihat relevan, maka ketentuan-ketentuan tambahan yang diakui sebagai upaya guna menjawab perkembangan dan sinkronisasi dengan sektor lain dipakai sebagai tunggangan dan alasan guna menutupi motif utama dibalik revisi UU Minerba.

Motif Utama Di Balik Revisi UU Minerba

Motif utama di balik revisi UU Minerba No. 4/2009 untuk menjamin kelanjutan operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) yang kontraknya segera berakhir. Dengan adanya revisi, maka terbuka kesempatan bagi para pengusaha tambang tetap mendominasi penguasaan SDA minerba minimal 20 tahun ke depan. Untuk itu disebar alasan sumir tentang perlunya perpanjangan kontrak untuk kepastian investasi, peningkatan penerimaan negara, penyediaan lapangan kerja, dan lain-lain.

Faktanya, ketentuan yang ada dalam UU Minerba No 4/2009 tidak menjamin kesempatan bagi pengusaha tambang memperoleh perpanjangan kontrak secara otomatis. Jika revisi tidak dilakukan, maka dominasi mereka akan terputus.

Itulah sebabnya mereka menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuan. Maksud yang sarat moral hazard ini mendapat dukungan penuh dari anggota oligarki yang tergabung dalam konspirasi penguasa, pengusaha, dan sejumlah pimpinan partai.

Padahal, sesuai Pasal 33 UUD 1945, TAP MPR No.IV/1999 tentang GBHN, TAP MPR No.IX/2001 tentang Pengelolaan SDA, Putusan MK No.36/2012 dan Putusan MK No. 85/2013, BUMN-lah yang berhak menguasai dan melanjutkan operasi wilayah kerja (WK) tambang saat kontrak KK dan PKP2B berakhir. Amanat konstitusi dan TAP-TAP MPR tentang penguasaan oleh BUMN ini telah diterjemahkan dengan tepat dalam Pasal 75 UU Minerba No.4/2009.

Ayat 3, dan 4 Pasal 75 UU No.4/2009 menyatakan bahwa: (3) BUMN dan BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK; (4) Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK.

Jika kontrak KK dan PKP2B berakhir, seluruh wilayah kerja (WK) tambang dikembalikan kepada negara. Negara berkuasa penuh merubah WK menjadi wilayah pencadangan negara (WPN). Kemudian WPN ini dikelola BUMN. Karena itu, sesuai kepentingan ekonomi, ketahanan energi, dan keadilan bagi seluruh rakyat, maka mandatori bagi pemerintah menunjuk langsung BUMN melanjutkan operasi tambang.

Ternyata bukan hanya kontraktor KK dan PKP2B yang mendapatkan jaminan kelanjutan operasi. Pemegang izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus (IUPK) pun menikmati hal yang sama.

Dalam UU Minerba yang lama, perpanjangan izin tercantum dengan klausula “dapat diperpanjang”, yang diganti dengan “dijamin” pada revisi UU ini. Hal tersebut antara lain dapat dilihat padal Pasal 47, Pasal 83 dan Pasal 169, Pasal 169 A dan Pasal 169 B. BUMN/BUMD dan Rakyat hanya Mendapat Ampas!

Dengan ditetapkannya UU No.3/2020, maka para kontraktor eks PKP2B dan pemegang IUP/IUPK telah mendapat jaminan menguasai tambang minerba nasional berpuluh tahun.

Di sisi lain, saat ini sekitar 90 persen cadangan terbukti dan potensial minerba nasional sudah dikuasai para kontraktor dan pemegang IUP tersebut. Karena itu, setelah 20-30 tahun, sebagian besar cadangan akan terkuras, dan hanya menyisakan ampas bagi BUMN/BUMD.

Sehingga, pernyataan pemerintah dan DPR bahwa UU Minerba No.3/2020 memihak dan memprioritaskan BUMN/BUMD hanya retorika, kebohongan tanpa malu dan pengkhianatan terhadap konstitusi dan hak rakyat.

Karena, pada dasarnya hak prioritas BUMN /BMUD tersebut, sesuai konstitusi dan perintah Pasal 75 UU No.4/2009 sudah harus dijalankan sejak sekarang. Hak konstitusional rakyat tersebut telah dirampok oleh oligarki penguasa-pengusaha.

Siapa Pelaku Revisi UU Minerba Oligarkis?

Pejabat-pejabat pemerintah yang terlibat dalam revisi UU Minerba No.2009 menjadi UU No.2/2020 pro-oligarki dapat ditelusuri dari Panja RUU Minerba yang dibentuk Pemerintah dan DPR 13 Februari 2020. Panja tersebut terdiri dari 60 orang wakil pemerintah dan 26 orang wakil Komisi VII DPR.

Mereka dapat dicatat sebagai aktor-aktor utama di balik tragedi dan ironi sektor minerba yang akan membawa nestapa kepada rakyat Indonesia. Mereka adalah pelaku utama sejarah kelam industri tambang nasional.

Di sisi pemerintah, Presiden Joko Widodo adalah penanggungjawab utama terbentuknya UU Minerba No.3/2020 pro oligarki. Bersama Presiden Jokowi, menteri-menteri yang terlibat dan berperan sangat vital adalah Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri Setneg Pratikno, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Keuangan Sri Muyani Indrawati, dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Dari DPR, di samping Ketua DPR Puan Maharani, yang bertanggungjawab atas lahirnya UU No.3/2020 oligarkis adalah dari PDIP: Bambang Wuryanto, Dody Maryadi Oekoen, Adriana C. Dondokambey, Nasyirul Farah Amru, Syafrudin H. Maming, Yulian Gunhar. Dari Partai Nasdem: Sugeng Suparwoto, Ina Elisabeth Kobak, Akranata Akram.

Dari Partai Golkar: Alex Noerdin, Maman Abdurrahman, Ridwan Hisyam, Gandung Pardiman. Dari Partai Gerindra: Gus Irawan Pasaribu, Moreno Soeparto, R. Wulansari, Katherine A. Oendoen. Dari PAN: Eddy Soeparno dan Andi Yuliani Paris. Dari PKB: Syaikhul Islam dan Abdul Wahid. Dari PKS: Tifatul Sembiring dan Mulyanto. Dari PPP: Anwar Idris.

Di samping ke-24 anggota DPR yang terhormat di atas, para pimpinan 8 fraksi dan 8 partai pendukung dapat pula disimpan dalam memori publik sebagai pendukung UU No.3/2020 yang merugikan rakyat. Sebagai catatan, partai yang menolak penetapan UU No.3/2020 adalah Partai Demokrat. PKS memang memberi catatan, namun dianggap mendukung revisi UU Minerba No.4/2009.

Bersama pemerintah dan DPR, para pengusaha tambang PKP2B yang terlibat dalam revisi UU No.4/2009 berasal dari Tanito Harum, Arutmin Indonesia, Kaltim Prima Coal (KPC), Multi Harapan Utama (MHU), Adaro Indonesia, Kideco Jaya Agung, dan PT Berau Coal. Selain itu, karena diuntungkan oleh ketentuan jaminan perpanjangan izin secara otomatis dalam UU No.3/2020, bisa saja pemegang IUP dan IUPK yang ada sekarang, juga terlibat.